Bab 9

56 5 7
                                    

Kendaraan roda duaku meluncur masuk ke halaman rumah dengan mulus di tengah cuaca yang terik ini dan mendarat tepat di bawah pohon srikaya di pekarangan. Pelan tanganku terulur untuk membuka helm dan melepasnya tapi tiba-tiba saja percakapan Mbak Sari tadi terngiang kembali.

"Gimana, Dit? Apa kamu akan pertimbangkan permintaan Arya? Mbak tahu ini bukan waktu yang tepat, tapi nggak ada salahnya kamu coba pikirkan matang-matang. Mbak tahu dia mungkin jauh kalau dibandingkan dengan Rudi, tapi Mbak percaya Arya orang baik cuma agak tengil aja."

"Mbak Sari tahu dari mana kalau dia baik?" tanyaku penuh selidik. Sementara yang ditanya hanya tersenyum kecil.

"Hmm, sebetulnya Arya dulu sempat satu kelas sama Mbak waktu SMA. Tapi karena kecelakaan, dia harus dirawat cukup lama untuk pemulihan. Karena itu kuliahnya jadi tertunda dua tahunan. Tapi selama Mbak kenal, dia baik kok, suka menolong biarpun terbilang usil. Keluarganya juga baik dan harmonis."

Melihat aku yang masih terdiam, Mbak Sari melanjutkan ucapannya. "Tapi, kalau Dita keberatan nggak apa-apa. Mbak nanti yang bilang sama dia. Dita nggak perlu merasa nggak enak ya."

"Siang-siang begini, dilarang bengong di bawah pohon, bisa kesambet kamu, Dit!" Sebuah suara yang sangat aku kenal membuyarkan lamunanku tiba-tiba. Segera aku alihkan pandangan ke sumber suara dan benar saja, Mbak Dini sudah berada di belakangku sambil menahan tawanya.

"Mbak Dini ngagetin aja nih," ujarku dengan wajah ditekuk. Kemudian aku baru tersadar ada sebuah mobil hitam mengkilat terparkir tak jauh dari tempatku berada. "Ada tamu, Mbak?"

Mbak Dini mengangguk mantap. "Cari kamu tuh."

"Siapa, Mbak?" selidikku. Mbak Dini lalu mendekat ke telingaku dan membisikkan sesuatu, membuat keningku mengernyit heran tapi tetap mengikuti langkahnya ke dalam dengan dipenuhi rasa penasaran.

Baru saja mengucapkan salam dari ambang pintu, kedatanganku langsung disambut pemandangan yang tak biasa. Di sana, di ruang tamu duduk seorang wanita yang tengah menangis tepat di sisi ibu. Wanita yang aku kenal tentu saja, tapi apa yang membuatnya menangis di sini?

Mbak Dini meraih tanganku dan menarikku mendekat ke wanita tadi. "Tante Ratih, ini Dita udah pulang."

Mendengar namaku disebut, Tante Ratih mengangkat wajahnya dan langsung memelukku erat. Jelas saja sikapnya ini membuatku terpana.

"Dita ... tolong Adit. Dita ... harus tolong Adit. Cuma Dita yang bisa nolong Adit ...," ucap Tante Ratih sambil sesenggukan. Tangannya masih memelukku erat. Ibu mendekat dan berusaha membujuk Tante Ratih, hingga akhirnya ia mau melepaskan dekapannya dan kembali ke tempatnya duduk tadi. Begitu pula dengan aku yang didudukkan ibu di sebelah Tante Ratih, ibunya Adit.

"Maksud Tante Ratih apa? Dita nggak paham."

Dengan terbata-bata, Tante Ratih bercerita bahwa beberapa hari lalu ia memergoki Adit, anak lelakinya tengah berpelukan dengan teman lelakinya di kamar indekostnya. Kemudian tanpa sengaja menemukan chat-chat mesra di ponselnya Adit yang setelah ditelusuri ternyata Adit dan teman lelaki di kamar itu memang memiliki hubungan khusus. Tentu saja kenyataan itu membuat semua keluarga menjadi gempar. Namun, Dita hanya mendengarkan semua kisah itu dengan tenang, tak seperti ibu dan Mbak Dini yang sudah heboh.

"Tolong Adit, Dit," pinta Tante Ratih memelas.

"Apa yang bisa Dita bantu buat Adit, Tan?" tanyaku seraya menghela napas panjang. Di satu sisi aku iba melihat Tante Ratih, tapi di sisi lain merasa lega kondisi menyimpang Adit akhirnya diketahui keluarganya dan untungnya bukan dari bibirku yang sejatinya sudah mengetahui hal itu sejak lama.

"Tante percaya Adit nggak akan begitu kalau bukan karena pengaruh temannya yang nggak benar itu. Tante juga percaya kalau Adit menikah dengan perempuan yang tepat, dia akan bisa berubah. Dan Tante percaya Dita-lah perempuan yang tepat itu. Apalagi kalian sudah dekat sejak kecil."

[TAMAT] JODOHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang