Bab 2

146 16 0
                                    

"Apa, Dit? Arya ngajak lu nikah? Yang kating sastra itu kan? Nggak salah, Dit? Mau dikasih makan apa nanti anak orang?" Mila tak bisa menyembunyikan rasa kagetnya saat aku menceritakan rahasia paling besar yang aku simpan dari semua orang. Ya, terkecuali Mila tentunya, karena ia adalah satu-satunya teman dekatku sejak awal masa perkuliahan.

"Ssttt! Kagetnya bisa biasa aja nggak, Mil?!" protesku sambil menoleh ke kiri dan kanan. Berjaga-jaga kalau-kalau ada yang mendengar ucapan Mila tadi. Beruntung saat ini suasana kantin cukup sepi hingga aku yakin tak ada yang sedang memperhatikan kami.

Mila sendiri langsung menyadari kesalahannya dan kini sibuk menutup mulutnya sendiri. "Iya. Iya. Sorry, Dit. Terus lu sendiri gimana? Lu nggak langsung bilang iya kan?"

"Ya, nggak lah! Ngaco, lu! Kuliah aja baru semester empat begini, masa udah mikirin nikah. Bisa-bisa ibu sama bapak gue kena serangan jantung nanti."

Mila manggut-manggut pertanda ia setuju dengan ucapanku. Namun, tampaknya ia masih belum puas dengan pertanyaannya, terlihat dari wajahnya yang semakin antusias. Bahkan kini ia sudah semakin merapat padaku. "Kira-kira kenapa si Arya ngajak lu nikah, Dit? Kalau cuma iseng, berarti isengnya udah keterlaluan nih. Lagi juga kalian nggak pacaran kan?"

Mendengar pertanyaan Mila barusan, aku langsung menoleh dengan tatapan murka ke arahnya. "Ya, nggak lah, Mil! Emang lu pernah liat gue pacaran selama ini? Deket sama cowok aja nggak pernah, apalagi pacaran!"

Mila kembali manggut-manggut, karena memang ia yang paling tahu bagaimana aku selama di kampus ini. Jangankan pacaran, dekat dengan seorang lelaki saja belum pernah. Kesibukan kuliah ditambah UKM Kerohanian Islam saja sudah sangat menyita waktuku. Jadi, mana sempat memikirkan tentang cinta-cintaan.

"Terus gimana jadinya, Dit?" Kali ini nada suara Mila sudah tak seperti tadi. Ia tampaknya sudah tak seantusias tadi, meski masih penasaran.

"Ya, gue bilang kalau gue belum berpikir ke arah sana. Gue saat ini mau fokus kuliah dulu."

"Pinteerrr! Tapi si Arya nggak marah kan?"

"Nggak sih kayaknya. Mukanya juga biasa aja," jawabku sambil mengedikkan bahu lantas mencomot pisang goreng yang belum tersentuh sejak tadi. Berusaha untuk terlihat tak peduli, meski hati dan pikiran sudah sibuk mengingat awal perkenalanku dengan Arya dulu.

Kala itu aku masih Maba di kampus ini. Entah karena para senior perempuan yang terlalu gemas padaku yang rajin terlambat ini atau memang mereka yang sengaja mencari perhatian, dan tiba-tiba saja aku sudah menjadi bulan-bulanan mereka. Dikerjai sedemikian rupa dibanding para Maba yang lain. Sesekali aku protes dan melawan yang tentu saja membuat mereka semakin gemas dan semakin semangat mengerjaiku.

Saat itulah sosok Arya muncul dengan style yang sangat santai; kaus oblong, celana jeans bolong-bolong dan rambut sedikit gondrong. Kemudian dengan cueknya ia membacakan puisi keras-keras di samping para senior perempuan itu tentang ketidakadilan yang aku tak tahu karangan siapa. Hingga akhirnya para senior yang merasa kesenangannya diganggu itu akhirnya pergi sambil menggerutu. Arya lalu meninggalkanku setelah aku mengucapkan terima kasih.

Aku hanya beberapa kali saja bertemu dengan Arya sejak kejadian itu. Tak ada yang istimewa dari pertemuan kami. Aku hanya mengangguk memberi hormat seperti biasa dan ia pun membalas dengan hal yang serupa. Sudah begitu saja. Tak ada sapaan apalagi percakapan. Bahkan mungkin ia tak tahu siapa namaku.

Pernah sekali dua kali aku melihatnya dalam pementasan drama di kampus. Sebagai mahasiswa sastra, teater dan drama bukanlah hal yang aneh untuk Arya. Meski bukan sebagai pemeran utama, tapi ia sangat serius dan fokus menjalani perannya di belakang layar. Kejadiannya pun sama, tak ada sapaan apalagi percakapan.

Lalu tiba-tiba saja ia menyapa saat aku baru saja memarkir motorku dan meminta waktu untuk bicara. Ya, saat itulah ia menyatakan keinginannya untuk menikah denganku. Terang saja aku kaget, setelah semua interaksi kami yang tak ada istimewanya, bahkan ia tak pernah termasuk seseorang yang patut aku perhitungkan, lalu ia mengajakku mengarungi hidup bersama. Entah siapa yang tak waras di sini? Aku atau dia?

To be continued …

Nb. Maafkan kalo cuma sedikit yaaa, sebetulnya ini tugas saat harus praktik menulis 30 hari. Jadilah saya nulis bab sedikit-sedikit biar gak kehilangan semangat di tengah jalan hehe. Doakan bisa lanjut terus sampe tamat yaaa...

[TAMAT] JODOHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang