“Aduh … cantiknya adek Mbak Dini! Arya pasti pangling liat kamu nanti, Dit. Ah, Mbak jadi nggak sabar liat muka bengongnya Arya kaya kemarin,” ujar Mbak Dini sambil tertawa. Tentu saja membuatku yang tengah dirias ini ikut tertawa juga.
Aku paham sekali apa yang Mbak Dini ucapkan. Karena itu benar-benar terjadi di bulan lalu, saat kami sedang fitting gaun pengantin. Di mana Arya memang benar-benar bengong sesaat setelah aku keluar dari ruang ganti. Wajahku sempat memerah dan sudah pasti aku bakal masuk lagi ke ruang ganti, kalau nggak ditahan Mbak Dini.
Kesal sebetulnya, tapi mau bagaimana lagi, lelaki itu berhak menilai apakah gaun ini memang pantas untukku. Terlebih keluarganya yang membawaku dan keluarga kami ke butik mahal ini. Bahkan di sisi lain butik, ibuku dan calon ibu mertuaku masih sibuk mematut-matut kebaya juga di depan cermin. Ya, kedua ibu itu sudah sangat akrab sejak diberi kesempatan menyiapkan keperluan pernikahan.
Alhasil dengan menahan malu, aku berjalan pelan ke depan cermin besar yang tak jauh dari tempat Arya duduk. Bersyukur lelaki itu akhirnya menunduk tanpa berkata apa-apa yang membuatku tak semakin kehilangan muka. Namun, dari pantulan cermin dapat kulihat sudut bibirnya membentuk seulas senyuman. Entah senyuman untuk apa.
Detik berikutnya, kedua ibu tadi sudah mendekat dan memuji-muji gaun yang aku kenakan. Aku sendiri mengaku kalau gaun putih berbahan satin berlapis Tulle dengan motif bunga dan sulur serta taburan payet ini benar-benar cantik. Aku akui bahan yang dipilihkan Ibu Nindya, calon ibu mertuaku ini memang bagus. Tidak membentuk tubuh meski bahannya jatuh.
Agaknya ungkapan ada harga ada kualitas memang nyata adanya. Terbukti di gaun yang payetnya dipasang manual dan diproduksi terbatas ini terlihat sangat terlihat elegan dan menawan. Meski pada awalnya aku sempat menolak dan memilih bahan yang lebih murah, tapi Ibu Nindya tidak setuju. Sampai akhirnya aku tahu kalau Arya adalah anak satu-satunya di keluarga mereka, jelas saja mereka tak keberatan mengeluarkan uang puluhan juta untuk sebuah gaun pengantin.
“Nggak apa-apa, Dit. Ini kan momen bersejarah, bisa jadi sekali seumur hidup, jadi kami ingin momen ini berkesan, bukan cuma buat Dita tapi juga untuk keluarga kami. Jadi tolong jangan ditolak ya. Anggap aja ini hadiah dari kami untuk kebaikan hati Dita,” ujar Ibu Nindya lembut kala itu seraya mengacak-acak rambut Arya yang dikuncir seperti biasa.
“Dit! Jangan bengong juga dong. Aduh, lama-lama kamu jadi mirip Arya deh. Pantes aja kalian berjodoh! Ayo dong, fokus Dita! Di luar udah ramai tuh. Keluarga Arya udah datang. Aduh, sebentar lagi akad dimulai. Mbak yang deg-degan ini, Dit.” Mbak Dini masih sibuk mengoceh setelah melihat ke luar sebentar dan kini air mukanya dipenuhi raut bahagia. Bahkan Syifa, keponakanku yang berusia 20 bulan ikut tersenyum dalam gendongan ibunya.
Benar saja, tak berselang lama acara pun dimulai. Jantungku berdetak lebih kencang dari biasanya. Benar kata Ibu Nindya, ini momen bersejarah. Dari dalam kamar, aku bisa mendengar dengan jelas ayat-ayat suci Al-Qur'an yang dibacakan yang dilanjut dengan sambutan dari kedua belah pihak, hingga tak lama kemudian akhirnya akad pun terucap.
Aku menunduk berusaha meredam degupan jantung yang semakin tak beraturan, hingga tanpa sadar mataku mulai berkabut. Mbak Dini mengangsurkan tisu yang segera aku gunakan untuk mengusap sudut mata. Berharap riasan yang sudah bagus ini tak jadi rusak seperti pesan Mbak Tami, sang makeup artist pilihan Ibu Nindya tadi.
Dapat kudengar dengan jelas betapa mantap suara Arya kala menjawab lafadz ijab yang diucapkan Bapak sebelumnya hanya dengan sekali ucap. Disusul dengan sahutan “sah” yang riuh dari semua yang hadir. Dengan begitu, kini aku resmi berganti status dari lajang jadi menikah. Ya, aku kini sudah resmi menjadi istri seseorang, satu hal yang kubayangkan akan terjadi beberapa tahun lagi setelah apa yang terjadi dengan Rudi.
Sekalipun aku masih tak yakin semua terjadi secepat ini, hanya berselang tiga bulan sejak kedatangan Arya siang itu ke rumah, tapi aku yakin sekali dengan keputusan orang tuaku. Bapak dan Ibu adalah orang yang sangat menginginkan kebahagiaanku, jadi keputusan mereka menerima pinangan Arya pastilah tepat. Semoga saja aku mampu menjadi istri dan ibu yang baik untuk keluargaku nanti, bisikku di sela-sela doa yang dibacakan pak ustadz di luar sana.
Baru saja pembacaan doa selesai, Mbak Dini sudah menarik lenganku dengan tak sabar lantas membimbingku keluar dan didudukkan tepat di sisi Arya. Ia tersenyum lembut melihatku kedatanganku. Diraihnya tanganku dan disematkannya sebentuk cincin berlian putih di jari manisku. Kemudian diciumnya keningku lembut. Sungguh ini adalah sentuhan pertama yang membuat hatiku berdesir pelan.
Lalu saat tiba giliranku, entah kenapa tanganku malah gemetar dan itu terlihat jelas sekali. Beruntung Arya sabar menunggu, hingga aku berhasil melawan rasa gugup ini dan cincin yang sama tersemat di jari manisnya. Lantas masih dengan sisa gemetar aku mencium tangan itu takzim.
Namun, saat hendak melepaskan, Arya malah menahan tanganku dan mencium punggungnya lembut. Sontak saja kejadian itu mengundang keriuhan dari hadirin. Aku sendiri hanya bisa menunduk, tak punya keberanian melihat ke mana-mana karena rasa hangat sudah menjalar di kedua pipiku. Ingin rasanya mencubit lelaki ini.
“Terima kasih, Bidadari,” ucap Arya kemudian yang membuatku mengangkat wajah dan menemukan kesungguhan di wajah lelaki itu. Ah, seperti itukah aku baginya?
**
“Ditaaa …! Selamat yaaa! Aduh, sohib gue udah nikah aja!” seru Mila saat mendekat ke pelaminan. Ia pun langsung memelukku erat, beruntung sebagian tamu sedang fokus menikmati hidangan, hingga di atas sini sedikit longgar. Kemudian Mila menoleh ke Arya yang berdiri di sisiku setelah melepas pelukannya.
“Nanti Dita masih boleh nongkrong sama gue kan, Ya? Pokoknya lu nggak boleh ngelarang-ngelarang Dita, Ya! Atau gue culik nanti bini lu,” ucap Mila setengah mengancam pada Arya yang dijawab dengan tawa dan acungan jempol.
Mila lalu beralih lagi padaku sambil berbisik tepat di telingaku, “Dit, gue baru tahu kalo Arya seromantis itu. Gue juga mau punya suami kaya gitu, Dit. Kira-kira Arya punya sodara kembar nggak ya?”
Tak mau kalah, aku pun balas berbisik di telinga Mila, “Sorry, Mil. Kayaknya sih limited edition soalnya dia anak tunggal.”
Mila sedikit cemberut tapi sedetik kemudian tertawa seraya membisikkan sesuatu lagi yang sebelum akhirnya menuruni pelaminan. Sempat tertegun sejenak, aku malah jadi kaget saat yang diucapkan Mila benar adanya saat kulihat sosoknya naik ke pelaminan.
“Hei, Bro. Datang juga akhirnya. Makasih banget, Bro, udah sempetin jauh-jauh ke sini. Dita pasti seneng banget lu dateng, Rud,” ujar Arya menyambut ramah seseorang yang membuatku tertegun tadi.
Keduanya lantas bersalaman dan berpelukan sejenak. Mereka terlihat akrab sekali dan aku baru tahu kalau mereka saling mengenal. Kini keduanya melihat ke arahku.
“Barakallah, Dit. Semoga jadi keluarga sakinah, mawaddah, warahmah. Aku senang kamu akhirnya menikah dengan lelaki yang baik.” Rudi tersenyum kecil dengan Arya yang masih merangkul bahunya.
Sementara aku hanya bisa menunduk dan mengucap terima kasih dengan suara lirih. Entah bagaimana lelaki itu bisa hadir di sini dan sukses membuat hatiku berdegup kencang lagi. Ah, ini nggak benar, Dita. Kamu nggak boleh begini. Ingat, kamu sekarang istri orang.
---------------------------------------------------------
Hai.. hai..
Segini dulu yaaa ekstra part-nya, capek nulisnya haha.
Nanti aku sambung lagi, see you 🥰
KAMU SEDANG MEMBACA
[TAMAT] JODOH
Teen FictionKisah Dita, seorang gadis yang dilanda kebimbangan saat seorang pemuda yang jauh dari bayangannya, datang melamar. Sementara di saat yang sama, ia tengah menanti sang pujaan hati yang berjanji akan kembali.