10

73 10 0
                                    

Ji-Sung tengah berdiri menunggu seseorang di gedung fakultasnya. Gedung ini berdekatan dengan fakultas bisnis. Tidak heran jika ia sering melihat mahasiswa dari gedung tetangga itu.

“Hannie?” Suara yang begitu ia hapal, menyapa indera pendengaran dengan indahnya. Ji-Sung memutar tubuhnya, melihat sosok laki-laki yang adu argumen kemarin siang dengannya.

Sebenarnya, rasa kesal masih tertanam. Melihat laki-laki itu semakin mendekat, ia dapat memastikan bahwa orang itu ingin berdamai dengannya.

“Kau ada janji? Hari ini?” tanyanya.

“Wae?” Ji-Sung masih bersikap dingin. Laki-laki itu adalah Min-Ho, ia sadar jika Ji-Sung masih enggan berbicara dengannya.

“Aku ingin menjelaskan sesuatu.”

“Jelaskan saja di sini.”

Min-Ho menghela napas beratnya. Ia hanya memandang wajah tenang Ji-Sung. Meski ia tahu, menyembunyikan rasa kesal di balik wajah tenangnya, lebih membuat Min-Ho merasa bersalah. Ia bahkan tidak tahu harus memulainya dari mana.

Min-Ho menunduk sembari memikirkan langkah berikutnya.

“Aku tau kau sibuk. Karena itu, bicaralah di sini.” Sepertinya itu sedikit sarkas bagi Min-Ho. Ia paham jika laki-laki manis di depannya ini sedang menyindirnya, bahwa waktunya lebih banyak ia habiskan dengan kekasihnya.

Min-Ho kembali membuang napas sembari terpejam. Sedikit menahan diri agar tidak kembali bertengkar hanya karena waktu. Itulah yang Min-Ho pikirkan.

“Aku tau kau masih kesal. Kau juga tau, bahwa aku sangat mencintainya, aku mengharapkan hal ini telah lama. Tapi, aku tidak berniat berbohong padamu.”

“Aku tidak mengatakan bahwa aku marah karena kau berbohong padaku. Ternyata kau berbohong padaku?” Demi langit dan bumi, Min-Ho pikir jika Ji-Sung tahu bahwa dirinya berbohong. Tetapi jika dipikirkan lagi, ia tidak sepenuhnya berbohong. Ji-Su sendiri yang mengatakan bahwa dirinya sakit. Bahkan ia sangat khawatir dan melupakan janjinya yang ia buat untuk Ji-Sung.

“Bukan begitu, ah!” Min-Ho sedikit frustrasi. Ia kebingungan untuk menjelaskannya. “Ji-Su menghubungiku bahwa dirinya sakit. Jadi ... aku sangat mengkhawatirkannya hingga melupakan janji kita. Aku sangat tau bahwa aku bersalah. Tentang di lapangan, maaf karena marah padamu. Bukan maksudku mengatakan hal itu, hanya saja, aku ingin kau memanfaatkan aku sebagai temanmu. Jika kau bilang mobilmu di bengkel, aku akan menjadi supir pribadimu. Aku hanya kesal, ketika aku tidak tau apa pun tentang kau sedangkan orang baru mengetahuinya. Dan orang itu juga yang merawatmu ketika sakit. Aku ... terlihat ... seperti orang bodoh,” tambah Min-Ho.

Ji-Sung setia mendengar penjelasan Min-Ho, tanpa niat ia akan memotong ucapannya.

“Maafkan aku. Aku takut kau akan berpikir bahwa aku jauh lebih memilih Ji-Su daripada dirimu. Bukan itu yang aku inginkan, kalian sama berharganya bagiku.”

Ji-Sung menundukkan kepala. Betapa besar rasa cintanya pada Ji-Su. Rasa sakit menjalar bersama dengan aliran darah. Meski begitu, ia sudah kebal untuk tidak mengeluarkan air matanya.

“Jika aku dan Ji-Su-mu sakit bersamaan. Siapa yang akan kau rawat?” Min-Ho kembali menatap Ji-Sung tidak percaya. Ingatan pertengkaran dirinya dengan Ji-Su, tentang Ji-Sung memiliki perasaan padanya kembali berputar.

“Mengapa kau bertanya seperti ini? Membuat aku memilih antara kalian berdua.” Ji-Sung hanya menatap Min-Ho. Melihat bagaimana laki-laki yang lebih tinggi darinya terlihat kebingungan, ia yakin bahwa ia akan memilih Ji-Su. Bahkan ia tahu, bagaimana perjuangannya untuk mendapatkan Ji-Su.

“Jika kau terus berbohong, bagaimana bisa aku percaya di masa depan, Min-Ho-ya?”

“Aku bukannya berbohong padamu. Ah! Bagaimana aku menjelaskannya agar kau mengerti?”

Eccedentesiast [BL]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang