Sejak kejadian itu Nara berubah menjadi sosok yang begitu pendiam, ia jarang ikut kumpul bersama teman-temannya membuat semua orang merasakan perubahan itu.
Akmal dan Arin maupun Bagas dan Binar-Kakak Ipar Nara ikut merasakan perubahan itu. Sosok ceria yang selalu menjadi sumber tawa kini hilang begitu saja.
Jika ditanya, Nara hanya menjawab ia ingin menjadi perempuan yang lebih dewasa lagi. Namun Akmal tidak percaya begitu saja, ia sangat mengenal putri bungsunya.
"Dek, sini kumpul. Lihat keponakanmu ini," pinta Bagas kepada adiknya. Anak Bagas baru saja lahir, membuat seluruh rumah sangat bahagia menyambut kehadiran cucu pertama keluarga Dirgantara.
Nara tersenyum, ia mengikuti perkataan Bagas dan ikut berkumpul dengan seluruh keluarga.
"Nara kenapa diam dari tadi? Nggak kayak biasanya, paling heboh," cetus Rini-Adik Arin.
Lagi-lagi Nara hanya tersenyum. "Pengen jadi perempuan kalem, Tan," sahut Bagas mencoba mencairkan suasana.
Belum sempat merespon, tiba-tiba gejolak di perut Nara membuat Nara berlari menuju wastafel kamar mandi. Sekian kalinya Nara memuntahkan isi perutnya yang hanya cairan bening. Entah mengapa akhir-akhir ini tubuh Nara sangat tidak mengenakkan, setiap pagi ia selalu mual dan berujung mengeluarkan cairan bening saja, tak hanya itu nafsu makannya juga naik membuat Arin sedikit curiga.
"Dek, kamu habis makan apa? Kenapa mual-mual terus?" Arin menghampiri Nara yang kini berusaha menahan mualnya.
Nara menggeleng. "Nara nggak makan apa-apa, Bunda. Nara makannya aman semua," jelas Nara.
"Kalau masih mual, Bunda terpaksa harus periksa kamu. Bunda nggak mau kamu masuk rumah sakit kayak dulu," balas Arin.
"Iya, Bunda."
Lalu Nara memilih untuk mengistirahatkan tubuhnya, agar tubuhnya jauh lebih baik lagi.
"Bunda, turun dulu ya. Nanti kalau butuh apa-apa, telfon Bunda."
Nara mengangguk dan Arin keluar dari kamar Nara. Nara menghela napas, ia mulai bingung dan takut, kemudian ia menyibak kaos yang menutup perut ratanya. Di usap perut itu dengan pelan, Nara teringat jika dirinya telah satu bulan telat haid.
"Enggak mungkin, nggak mungkin di sini ada nyawa." Nara berbicara dengan lirih sambil menekan perut ratanya, air matanya kembali menetes. Ingatan kejadian malam itu, tidak hilang begitu saja dari pikirannya justru setiap malam ia selalu dibayangi kejadian yang sangat menjijikkan itu.
Untuk memastikan hal tersebut, Nara beranjak dari tidurnya lalu mengambil sebuah benda yang baru ia beli kemarin. Ditatap benda itu dengan tatapan yang tidak karuan, ia takut jika sebuah takdir yang tidak ia harapkan hadir di kehidupannya.
Dengan satu tarikan napas, Nara berusaha menyakinkan dirinya. Setelah penuh keyakinan, ia masuk ke dalam kamar mandi dan memeriksa hasilnya.
Setelah beberapa saat, benda itu mulai melakukan fungsinya dengan harap-harap cemas Nara menunggu hasilnya.
Air mata Nara menetes seketika ketika melihat hasil yang begitu jelas di matanya. Mulutnya ternganga, ketika dua garis biru muncul dengan begitu jelas.
"Enggak...enggak mungkin, ini nggak mungkin. Pasti ini salah, nggak mungkin." Nara menolak kenyataan itu, ia kembali mencoba dengan benda yang sama namun merk berbeda.
Lagi-lagi hasilnya dua garis dengan begitu jelas. "ENGGAK... ENGGAK MUNGKIN." Nara mulai berteriak, ia juga melempar alat tersebut ke sembarang arah. Ia melepas kerudungnya lalu mengacak-acak rambutnya, kemudian memukul-mukul perut ratanya yang ternyata ada nyawa di dalamnya.
"ENGGAK-ENGGAK MUNGKIN, AKU NGGAK MUNGKIN HAMIL. AKU NGGAK MAU, DIA JAHAT, JAHAT, KENAPA BISA." Nara berteriak sekuat tenaga, ia meluapkan semua emosi yang selama ini ia tahan.
"KAMU HARUS MATI, JANGAN TUMBUH DI SINI, KAMU NGGAK BAIK, JANGAN DI SINI." Ia memukul perutnya terus menerus tanpa henti.
Akmal dan Arin yang baru saja ingin masuk ke dalam kamar tersentak mendengar teriakan dari kamar Nara, mereka berlari dan masuk ke dalam kamar yang telah berantakan karena aksi Nara.
Arin terkejut melihat Nara memukul-mukul perutnya. "AKU NGGAK MAU, KAMU HARUS MATI, JANGAN DI SINI. KAMU JAHAT," teriak Nara.
"Adek, adek kenapa? Adek sadar adek...ini sakit, Nak. Perut kamu nanti sakit," ucap Arin mencegah aksi Nara memukul perutnya sendiri.
"DIA JAHAT BUNDA, DIA JAHAT, AKU NGGAK MAU."
Akmal termatung melihat putri bungsunya berteriak tidak karuan, Bagas yang juga mendengar ikut masuk ke dalam kamar Nara.
"Ayah, adek kenapa?" Pertanyaan itu tidak dibalas oleh Akmal, melainkan Akmal berjalan menuju sudut ruang. Sebuah benda tergeletak begitu saja, Akmal mengambil benda tersebut. Tangannya bergetar, detak jantung berpacu begitu cepat.
"Dua garis biru," lirih Akmal. Ini bukanlah benda asing bagi Akmal yang notabene seorang dokter spesialis anak.
Akmal menoleh kepada putri bungsunya yang masih meracau, Nara masih berusaha memukul perutnya, namun tidak bisa karena Bagas telah menahan tangan Nara.
"AKU MAU DIA MATI," pekik Nara membuat Arin dan Bagas termatung.
Air mata Akmal tidak tertahan lagi, tenggorokannya seakan-akan tercekat untuk mengucapkan sepatah kata. Benda yang ada di tangannya adalah jawaban atas teriakan Nara.
"Yah, benda apa itu?" Arin menghampiri suaminya yang berdiri termatung, ia juga penasaran melihat respon Akmal yang tiba-tiba menangis.
Benda itu diambil begitu saja dari tangan Akmal yang ternyata sudah melemas. Arin ikut termatung, matanya membulat karena itu bukan benda asing karena dirinya seorang dokter spesialis kandungan.
"Nara, berarti dia...." Ucapan itu terhenti, Arin tidak bisa berucap apa-apa lagi.
Akmal berjalan menghampiri Nara yang masih menangis di pelukan Bagas.
"Dek Nara," panggil Akmal dengan lembut.
"ENGGAK, AYAH. AYAH PASTI MARAH SAMA NARA, NARA ANAK NGGAK BAIK, NARA UDAH BUAT MALU AYAH." Lagi-lagi Nara berteriak, bahkan ia melepas pelukan Bagas dan berlari ke sudut ruang sambil menekuk lututnya.
Akmal menangis melihat Nara yang begitu ketakutan, meski banyak pertanyaan yang hinggap di kepalanya. Akmal tetap menghampiri Nara.
"Enggak, Ayah. Nara kotor, Ayah. Nara, hina...sekarang di perut Nara ada dia, dia jahat Ayah," cerocos Nara.
Akmal menggeleng. "Sini sama Ayah, Nak. Ayah nggak marah, kamu nggak kotor Nak, kamu nggak hina. Sini, Ayah pengen peluk kamu," ucap Akmal dengan lembut.
Nara menggeleng keras, bahkan ia menutup seluruh tubuhnya dengan kain seadanya. Ia semakin mengeratkan kakinya ketika Akmal mendekatinya.
"Nara nggak mau, Ayah. Dia jahat, Ayah...dia jahat," pekik Nara, dan lagi-lagi memukul perutnya.
Akmal segera mencegah aksi Nara, dengan memeluk tubuh putri bungsunya.
"Jangan, Nak. Jangan sakiti dia," pinta Akmal untuk tidak memukul perut Nara.
"Menangislah, Nak. Ayah di sini, Ayah nggak akan marah," ucap Akmal berusaha untuk tidak menghakimi putrinya.
Tubuh Arin ikut melemah, ia tidak menyangka jika putri bungsunya mendapatkan takdir yang cukup menyakitkan. Bagas berusaha menguatkan Arin, dipeluk tubuh Arin dengan erat.
"Kak, kenapa ini bisa terjadi?" Hati Arin merasa sangat bersalah, ia merasa jika apa yang dialami Nara itu karena didikannya yang tidak maksimal.
"Bunda, tenang ya. Kita tunggu penjelasan Nara, kita tahu Nara anak yang baik. Dia nggak mungkin melakukan hal itu sebelum waktunya," balas Bagas meski dirinya sedikit tidak yakin.
Waduh, Nara hamil....
Kira-kira gimana kelanjutan kisah Nara ini?
Jangan lupa komen yaa
Sehat-sehat kalian☺️
KAMU SEDANG MEMBACA
TAKDIR CINTA
RandomNarayya Maharani Dirgantara, seorang gadis yang biasa dipanggil Nara. Kehidupannya yang penuh kedamaian dan kebahagiaan, tiba-tiba dihancurkan sebuah kenyataan yang begitu menyakitkan. Masa depan yang telah ia rajut dengan begitu indah, rusak seket...