Angin sayup-sayup menerpa kerudung dan wajah perempuan itu, matanya menatap sekeliling gedung pencakar langit dan lalu lalang kendaraan bermotor yang saling beradu.
Untuk sekian kalinya perempuan ini menginjakkan kaki di kota metropolitan, Kota Jakarta. Setelah puas menatap sekelilingnya, kakinya kembali melangkah menyusuri jembatan layang.
Hingga tak terasa kakinya berhenti di sebuah kost sederhana yang ia sewa sebelum memutuskan pergi ke kota tersebut.
"Mbak Nara ya?" Seorang perempuan paruh baya menghampiri perempuan itu, ia segera menoleh.
"Eh iya, Bu." Perempuan itu terlihat meneliti penampilan Nara, membuat Nara sedikit tidak nyaman.
"Saya Erna, panggil saja Bu Erna," ucap Erna sambil mengulurkan tangannya, dengan senang hati Nara menerima uluran tangan tersebut.
Kemudian Nara diajak untuk masuk melihat kamar yang telah Nara pesan.
"Ini kamarnya, Mbak. Dan ini ada peraturan yang perlu Mbak Nara ketahui, kalau ada apa-apa bisa hubungi saya atau Mang Aji, penjaga kost di depan sana," jelas Erna sebelum meninggalkan Nara.
Nara tersenyum dan mengambil lembaran yang berisi peraturan di kost tersebut, kemudian ia masuk membawa koper yang berisi beberapa pakaian dan peralatan lainnya.
Nara memutuskan untuk meninggalkan kota kelahirannya, Surabaya demi membuat hati dan mentalnya sembuh, meski awalnya terasa berat, namun Nara harus melakukannya. Ia tidak ingin anak yang ia lahirkan akan mendapatkan cemoohan dari orang-orang yang ada di kota tersebut.
Setelahnya Nara mulai membereskan semua barang yang ia bawa, kemudian beristirahat untuk memulihkan tenaganya.
***
Akmal dan Bagas terus mengendarai mobil menyusuri setiap jalanan kota Surabaya, mereka masih berharap menemukan Nara yang barangkali belum jauh dari rumah.
"Kita harus cari ke mana lagi, Bagas?" Akmal bertanya sambil berharap akan segera menemukan Nara.
"Nggak tau, Yah. Tapi firasat Bagas, Nara udah pergi jauh. Dia nggak ada di kota ini lagi," ucap Bagas.
"Maksudmu?"
"Ayah udah baca surat Nara, kan? Itu udah jelas, dia pergi jauh. Dia ingin menyembuhkan luka dan traumanya, dan kita diminta untuk tidak mencarinya," jelas Bagas.
"Tapi, Kak...."
"Ayah harus yakin. Nara baik-baik saja, dia anak yang kuat, dia nggak akan kenapa-kenapa," sela Bagas.
"Apa kamu yakin? Kamu tidak ingat kejadian itu? Nara bisa sampai hamil karena ia malam-malam datang ke hotel itu dan bertemu laki-laki tidak jelas, apa kamu jamin adik kamu akan baik-baik aja di luar sana. Kalau terjadi apa-apa, Ayah nggak akan memaafkan diri Ayah, Bagas," ujar Akmal dengan emosi yang menggebu-gebu.
"Ayah tenang dulu, kita pulang. Ayah perlu istirahat," ajak Bagas.
"Gimana Ayah bisa tenang, adikmu Nara pergi, bahkan belum tentu dia akan kembali, seenggaknya kalau pun dia pergi, Ayah harus tau dimana posisinya." Lagi-lagi Akmal meluapkan emosinya.
Bagas terdiam, sebenarnya jauh dari lubuk hati terdalamnya ada rasa khawatir dan cemas yang luar biasa. Ia juga tidak yakin, Nara akan baik-baik saja di luar sana. Tapi mengingat tulisan Nara, membuat Bagas menepis pikiran negatif itu. Ia berusaha yakin bahwa Nara akan baik-baik saja dan pasti akan bertemu dengan orang yang baik.
KAMU SEDANG MEMBACA
TAKDIR CINTA
RandomNarayya Maharani Dirgantara, seorang gadis yang biasa dipanggil Nara. Kehidupannya yang penuh kedamaian dan kebahagiaan, tiba-tiba dihancurkan sebuah kenyataan yang begitu menyakitkan. Masa depan yang telah ia rajut dengan begitu indah, rusak seket...