Tampak Akmal, Arin, Bagas, dan Binar berkumpul mengelilingi Nara yang kini terlihat jauh lebih bersemangat dari sebelumnya. Ada rasa bahagia menelusup di hati mereka masing-masing.
"Ayah kenapa lihatin Nara kayak gitu?" Akmal tersentak ketika Nara menyadari tatapannya.
"Ayah marah ya sama Nara?"
Akmal segera menggeleng, ia meraih tangan putri bungsunya. "Ayah tidak marah sama sekali, Ayah bahagia karena lihat adek bisa semangat lagi," ujar Akmal.
"Tapi Adek udah buat keluarga ini malu, pasti Ayah malu banget punya anak yang hamil di luar nikah," balas Nara yang terdengar menyesakkan.
"Enggak, Nak. Ayah tidak malu, bagaimanapun dan apapun yang terjadi Ayah tidak akan malu. Kamu tetap anak Ayah yang paling membanggakan."
Air mata Nara menetes, kemudian ia mencium tangan Akmal cukup lama. "Maafkan Nara, Ayah. Maaf udah buat malu Ayah, maaf Nara nggak bisa jaga diri. Maafkan Nara," ucap Nara di tengah-tengah tangisannya.
Air mata Akmal ikut menetes, ia segera memeluk putri bungsunya. "Jangan meminta maaf, Nak. Ini salah Ayah juga, Ayah nggak bisa jaga kamu. Ayah ingkar janji untuk terus menjagamu, Ayah minta maaf, Nak."
Mereka saling berpelukan, Akmal berusaha menguatkan hati Nara. Ia tidak ingin menghakimi putrinya.
Arin berpindah sisi, duduk di samping Nara. Dielus rambut Nara dengan lembut, perlahan Nara melepas pelukan Akmal lalu beralih menatap Arin yang sejak tadi sudah menangis.
"Bunda, Bunda kalau mau marah sama Nara, gapapa. Nara pantas dimarahi, Nara pantas dimaki-maki. Nara anak yang nggak baik buat Bunda, Nara nggak bisa jaga janji Nara sendiri. Nara...." Belum selesai berbicara, Arin langsung memeluk Nara dengan sangat erat, seolah-olah tidak ingin kehilangan sosok ini.
"Jangan bicara seperti itu, Nara itu anak baik, anak perempuan Bunda yang paling membanggakan. Bunda bangga punya anak kayak Nara. Kamu jangan merasa bersalah ya, Nak...Bunda yakin, ini adalah ujian dari Allah. Allah lagi sayang banget sama Nara, mangkanya Nara dikasih ujian yang begitu hebat," ucap Arin mencoba membesarkan hati Nara.
Arin melepas pelukan tersebut, diusap air mata Nara dengan penuh kelembutan. "Jangan kayak kemarin lagi ya, Nara harus kuat. Nara anak hebat, Nara harus sembuh. Anak didalam kandungan Nara ini, tidak bersalah. Dia butuh Nara, Nara ibunya. Dia sangat sayang sama Nara, mangkanya dia masih hidup sampai sekarang karena ingin bertemu Nara. Ia ingin menatap wajah Nara, sebagai seorang ibu yang kuat dan hebat."
Arin menarik tangan Nara lalu diletakkan diatas perut Nara. Terasa ada kedutan, seakan-akan memberi sinyal kehidupan membuat hati Nara menghangat.
Kemudian ia menatap kakak kandungnya yang selama ini sabar merawatnya. "Kak," panggil Nara.
"Mau makan apa?" Sebuah perkataan yang membuat Nara tertawa kecil.
"Nah gitu, harus ketawa. Jangan sedih terus, Nara yang dulu harus kembali. Kak Bagas kangen ribut sama kamu," lanjut Bagas.
Kemudian Bagas menghampiri Nara, ia berjongkok di depan Nara sambil menggenggam tangan Nara. "Adek nggak boleh kayak kemarin ya, kita semua sedih lihat adek. Kita ingin adek bahagia, meski Kakak tau itu nggak mudah. Kami nggak maksa adek untuk jujur atas apa yang sudah terjadi, tapi kami minta Adek harus sehat. Ingat kata Bunda, di dalam sini ada nyawa yang butuh Adek. Jadi Adek harus kuat," ujar Bagas.
Tanpa berucap, Nara memeluk Bagas. "Maafkan Nara, Kak. Maaf udah ngerepotin kakak terus."
"Kakak senang kamu repotin, Kakak serasa jadi kakak yang berguna," balas Bagas mencoba mencairkan suasana.
KAMU SEDANG MEMBACA
TAKDIR CINTA
RandomNarayya Maharani Dirgantara, seorang gadis yang biasa dipanggil Nara. Kehidupannya yang penuh kedamaian dan kebahagiaan, tiba-tiba dihancurkan sebuah kenyataan yang begitu menyakitkan. Masa depan yang telah ia rajut dengan begitu indah, rusak seket...