Kini seluruh penghuni rumah berkumpul di ruang keluarga, kecuali Nara. Ia sengaja ditinggalkan di kamar agar bisa menenangkan diri, meski sebelumnya Bagas terpaksa menyuntikkan obat penenang untuk Nara.
Arin terlihat menunduk, bahkan air matanya sejak tadi tak habis-habis, Binar hanya bisa mengelus bahu mertuanya untuk memberikan ketenangan.
Akmal menarik napas dalam, di tatap wajah Bagas dengan tatapan penuh luka. Ia masih tidak percaya jika putri bungsu kesayangannya bisa melakukan itu.
"Ayah, nggak tau harus ngomong apa lagi. Nara belum bisa diajak bicara," ucap Akmal membuka suara meski terdengar begitu serak.
"Apa ini ada hubungannya dengan kejadian bulan lalu, Yah?" balas Bagas.
Akmal menggeleng, lalu mengusap wajahnya dengan kasar. "Siapa laki-laki tidak bertanggung jawab itu," lirih Akmal dengan air mata yang kembali menetes.
Kenyataan ini begitu menyakitkan bagi Akmal, putri satu-satunya yang ia jaga dengan begitu baik dan selalu ia usahakan kebahagiaan untuknya tiba-tiba harus menelan sebuah takdir yang sangat menyakitkan.
Dadanya seperti ditikam ratusan batu yang begitu menyesakkan, bayangan wajah ceria Nara telah terganti dengan wajah muram yang entah sampai kapan akan menempel di wajah ayu itu.
Hening menyelimuti ruang keluarga itu, kebahagiaan dan kesedihan kali ini hadir secara bersamaan. Mereka sibuk dengan pikiran masing-masing, hingga lagi-lagi terdengar suara teriakan dari kamar Nara.
Arin berlari menyusul putri bungsunya. "NARA," pekik Arin ketika melihat tangan Nara berdarah terkena serpihan kaca yang seperti sengaja Nara pecahkan.
Arin berlari dan merampas kaca di tangan Nara. Suara tangis Nara kembali terdengar, bahkan kali ini terdengar begitu menyesakkan hati.
"Nak, apa yang kamu lakukan? Jangan sakiti dirimu," ucap Arin.
"DIA JAHAT, BUNDA. DIA JAHAT, NARA NGGAK MAU ADA DIA DISINI," teriak Nara sambil berusaha memukul perutnya.
"Jangan, Nak...jangan sakiti dia. Dia nggak salah, Nak." Arin terpaksa mencekram tangan Nara supaya tidak memukul perut itu.
"Dia harus mati, Bunda...Nara nggak mau ada dia," balas Nara.
"Jangan, Nak." Arin menangis, ia tidak tega melihat kondisi putri bungsunya.
Dada Akmal begitu sesak melihat semua itu, perlahan ia melangkah menghampiri Arin dan Nara yang menangis sambil terduduk.
Akmal meraih tangan Nara yang penuh dengan darah. "Jangan sakiti dirimu, Nak," ucap Akmal.
Nara hanya bisa menangis, pikirannya begitu penuh. Kenyataan ini adalah sebuah kenyataan yang paling menyakitkan, mengapa harus dia yang mendapatkan takdir ini.
Bagas datang membawa perlengkapan P3K, dengan lembut ia membersihkan darah itu dan memberikan sedikit obat lalu memplesternya. Nara bergeming, luka di tangannya tidak berefek sama sekali, ia masih terus menangis, dadanya begitu sesak.
Setelah beberapa saat, Nara kembali tenang. Akmal menggendongnya lalu diletakkan di atas kasur kesayangan Nara dengan lembut. Tatapan Nara terlihat begitu kosong membuat laki-laki ini semakin sedih.
"Nak," panggil Akmal, namun tidak digubris sama sekali oleh Nara. Bahkan hanya sekedar respon tubuhpun tidak sama sekali.
Arin memeluk tubuh itu, ia berusaha menyadarkan Nara. "Nak, jangan diam terus. Ayah Bunda khawatir, kamu bisa bilang sama kami, siapa yang melakukan itu ke kamu," ucap Arin.
"Jahat," lirih Nara dengan tatapan yang masih sama.
Bagas beringsut menarik Arin. "Bunda, biarin Nara tenang dulu ya. Nanti pasti Nara mau bicara, dia masih syok dengan semua ini," ucap Bagas berbisik di telinga Arin.
KAMU SEDANG MEMBACA
TAKDIR CINTA
RandomNarayya Maharani Dirgantara, seorang gadis yang biasa dipanggil Nara. Kehidupannya yang penuh kedamaian dan kebahagiaan, tiba-tiba dihancurkan sebuah kenyataan yang begitu menyakitkan. Masa depan yang telah ia rajut dengan begitu indah, rusak seket...