Alif memutuskan membawa Nara ke Kota Tua yang ditempuh hanya sekitar dua puluh menit dari kost Nara.
"Turun, kita udah sampai," ujar Alif setelah memarkirkan mobilnya.
Keduanya turun, dengan cepat mata Nara menatap suasana Kota Tua yang jauh dari suasana di kostnya yang hanya dikelilingi gedung pencakar langit. Matanya tak berhenti takjub dengan pemandangan di sana.
"Kita beli kerak telornya di sana," ajak Alif menunjuk penjual kerak telor yang ramai dikelilingi pengunjung.
Dengan semangat Nara melangkah menuju penjual tersebut, Alif tersenyum melihat Nara yang begitu semangat meski tampak langkahnya sedikit susah karena perutnya.
"Mang, beli kerak telornya satu," ucap Alif.
"Siap, Mas...pas banget ini yang terakhir," ucap penjual tersebut.
"Sip, Mang." Lalu Alif menarik sebuah kursi yang kosong dan mempersilakan Nara untuk duduk.
"Duduk dulu, sambil nunggu kerak telornya matang," ujar Alif.
"Makasih, Mas."
Tak jauh dari posisi Nara terdengar suara keributan membuat perhatian Nara teralihkan. Tampak dua orang berbeda jenis kelamin sedang beradu argumen, Nara menyipitkan matanya berusaha melihat kedua sosok itu.
"Makan di sini atau di kost?" Pertanyaan Alif membuat perhatian Nara beralih.
"Eh...apa, Mas?" Nara sedikit tergagap, Alif yang penasaran ikut menoleh arah mata Nara.
Dua orang yang beradu argumen melangkah mendekat ke posisi mereka.
"Pak, kerak telor satu ya," ucap laki-laki yang bertubuh sedikit jangkung.
Entah mengapa mata Nara sejak tadi terfokus kepada laki-laki itu, suaranya sedikit tidak asing, ia juga berusaha melihat wajah laki-laki itu, namun sayangnya wajah laki-laki itu tertutup dengan masker serta topi membuat Nara kesulitan mengenalinya.
"Maaf, Mas...sudah habis, ini yang terakhir untuk Mbaknya yang hamil," ucap penjual sambil menunjuk Nara yang ternyata ikut mendengar percakapan mereka.
Laki-laki itu menoleh, mata Nara bertabrakan dengan mata laki-laki itu, dan entah mengapa jantung Nara berdetak lebih cepat dan dadanya mulai sesak.
Perempuan di samping laki-laki itu seketika merengek. "Aku mau kerak telor juga, aku juga hamil, Pak...aku juga ngidam, aku mau itu," rengek wanita itu membuat laki-laki di sampingnya segera mengelus kepala wanita itu agar tenang.
"Buat aku aja, Pak. Dia nggak usah," lanjut perempuan itu membuat Nara terkejut.
"Maaf, nggak bisa Mbak. Istri saya juga hamil, dia juga ngidam, dari kemarin ingin makan ini. Dan kami sudah mengantri sejak tadi," balas Alif sedikit tidak sabar.
Nara tersentak mendengar jawaban Alif. Ia menatap Alif, berharap Alif tidak perlu melakukan itu.
"Saya juga hamil, Mas. Justru saya yang butuh, saya hamil muda, kalau nanti anak saya ileran gimana?" Perempuan itu terlihat tidak mau mengalah.
"Sama saja, kalau nanti anak saya ileran juga gimana? Mbak mau tanggung jawab?" Emosi Alif mulai naik, mendengar suara perempuan itu yang mulai meninggi.
Perempuan itu ingin melangkah, namun segera ditahan oleh laki-laki yang ada di sampingnya.
"Udah-udah, kita cari penjual yang lain aja," ucap laki-laki itu.
"Enggak mau, aku mau makan di penjual ini."
"Tapi udah habis, Mel...itu buat Mbaknya, dia sudah mengantri sejak tadi," jelas laki-laki itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
TAKDIR CINTA
RandomNarayya Maharani Dirgantara, seorang gadis yang biasa dipanggil Nara. Kehidupannya yang penuh kedamaian dan kebahagiaan, tiba-tiba dihancurkan sebuah kenyataan yang begitu menyakitkan. Masa depan yang telah ia rajut dengan begitu indah, rusak seket...