2

2.8K 451 199
                                    

"Jadwal udah keluar tuh." Ashel menghempaskan tubuhnya di sofa. Sudah dua hari mereka tinggal di sini, memang tidak langsung bekerja karena mereka masih harus beradaptasi di kampung dan mengetahui setiap sudut rumah sakit.

"Yeay! Gue sama Ara!!" Chika bersorak gembira melihat jadwal yang baru saja dikirimkan oleh direktur rumah sakit itu. "Ashel sama Azizi dan Marsha sama Adel." Chika tertawa puas sekarang. "Bae bae pada selingkuh dah, nanti tukeran pasangan."

"Chika," tegur Ara mengingatkan lelucon Chika yang tidak lucu karena tidak ada satupun dari mereka yang tertawa. Kadang ia merasa tidak enak dengan celetukan Chika yang sesekali menyinggung mereka.

"Iya iya." Chika menyimpan kembali ponselnya dan meneruskan pekerjaan yatitu menyapu. "Del dari awal kita tinggal gue gak pernah liat lo pegang sapu dah, nyapu kali, manja banget."

"Gue bahkan gak pernah pegang sapu dari lahir." Adel menguap lebar sambil terus fokus pada ponselnya.

"Dih gak bisa gitu dong, kita di sini tinggal bareng ya harus kerja sama bareng, lo tuh egois ta-"

"-Gue bayar lo dua ratus ribu tiap kali lo gantiin gue ngerjain pekerjaan rumah," sela Adel memotong ucapan Chika yang lebih cocok disebut sebagai makian.

"Ya bisa-bisa aja sih." Tanpa mau membantah apapun lagi, Chika kembali menyapu sambil sesekali bersiul.

"Chik, ini udah jam 10 malam loh, katanya pamali nyapu malam-malam apalagi bersiul gitu." Azizi keluar dari dapur membawa nampan yang berisi enam gelas coklat panas karena cuaca sedang sangat dingin malam ini.

"Dikit-dikit pamali, gak percaya gue." Chika tidak mau mendengarkan kata Azizi, ia terus menyapu, menyelusuri ruang tamu sampai akhirnya berhenti di teras rumah. Chika tau bahwa katanya di kampung tidak boleh membuang hasil sapuan ke luar, tetapi siapa peduli? Chika segera membuang debu dan sampah itu keluar.

Tiba-tiba saja sebuah lemparan datang, mendaratkan buku usang itu tepat di bawah kakinya. "Setan!" pekik kagetnya sambil mengusap dadanya. Chika mengembuskan nafas panjang seraya mengambil buku itu dan memandang ke arah lemparan, seingatnya ia memang melemparkan bukunya ke arah itu, tetapi kenapa bisa kembali lagi?

"Aneh aneh aja." Chika melemparkan kembali bukunya, menyimpan sapu itu lalu memutar langkahnya ke arah pintu. Baru dua langkah, buku itu terlempar kembali, kali ini ke punggungnya. Chika berbalik, mengambil buku itu. "Harusnya buku ini judulnya bukan Tabir Mimpi tapi Buku Yang Tidak Bisa Dibuang." Dengan santainya, Chika membawa buku itu ke rumah karena percuma saja ia tidak bisa membuangnya.

"Lo pungut lagi tu buku?" tanya Marsha yang sedang meniup coklat panas itu sambil sesekali menyesapnya.

"Ngga, gue udah buang tiga kali tapi ada yang lempar lagi, ya udah gue bawa." Chika melemparkan buku itu ke meja dan duduk di samping Ara. Chika tidak terlihat takut sedikitpun, padahal jika Chika normal, gadis itu seharusnya takut.

"Buku apa ini?" Ara meraih buku itu. "Tabir mimpi?" Ara membuka beberapa lembar, isi bukunya hanya berupa tulisan. "Semakin besar emosi, dia akan semakin menguasai." Ara memicingkan matanya kemudian menatap Marsha. "Kalian dapet buku ini dari mana?"

"Chika, dia ambil waktu dalam perjalanan ke sini padahal kata Oniel kita gak boleh ambil barang sembarangan." Marsha mengangkat dagunya menunjuk gadis keras kepala itu, Chika sekarang malah santai menikmati coklat panas.

"Chika pernah dilarang buat turun tapi tetep turun, akhirnya dia liat nenek ghaib." Adel menggeleng tidak mengerti isi pikiran Chika, kenapa Chika sangat keras kepala?

"Muka lo noh goib." Chika mendelik malas, menyimpan gelas itu dan mengambil ponsel milik Ara, memeriksa hari ini Ara berkomunikasi dengan siapa saja. "Lagian kalian percaya aja sama Oniel, dia aja miara cewek aneh di rumahnya, udah pasti dia juga aneh. Semakin kita percaya hal aneh, kita akan semakin tersugesti. Baik buruknya sesuatu itu selalu berasal dari pikiran."

ANDAM KARAMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang