13

3.3K 476 411
                                    

"Namanya Mudita Digjaya Lilakanti, dia anak kedua dari keluarga Digjaya." Seorang nenek-nenek bernama Marsinah yang tinggal di kampung Ratu menjawab pertanyaan Chika dan Ratu. Setelah bertanya pada semua orang di kampung ini, hanya beliau yang bersedia menjelaskan.

"Saya dengar bahwa Mudita meninggal bunuh diri di rumah itu?" tanya Chika yang masih sangat ingat cerita dari Oniel. "Apa itu benar, nek? Jika benar, di mana makamnya?"

"Iya katanya tapi warga kamu teh gak ada yang percaya, soalnya perjuangan hidup neng Mudita teh besar, sejak neng Mudita meninggal, neng Mudita menghantui semua dokter baru di rumah sakit, dia teh kalo gak salah mah pengen jadi dokter juga tapi gak dikabulin sama yang punya rumah sakit, nah emak teh taunya cuma sampe sana, soalnya sekampung gak ada yang tau di mana makam neng Mudita dan ke mana keluarga Digjaya, emak mah denger mereka dibunuh." Marsinah menurunkan nada suaranya di kalimat akhir karena takut ada yang mendengarnya. "Gara-garanya mereka menghalangi pembangunan RS itu, da sebenernya mah RS nya udah dibangun, tapi kehalang rumah mereka yang sekarang jadi IGD."

Chika bersandar pasrah di kursi, ia tidak menemukan ada kode baru yang bisa membantunya dari cerita nenek itu. Chika menatap nenek itu dan bertanya, "Kalo boleh tau berapa bersaudara?"

"Tiga neng, anak pertama laki-laki, anak kedua Mudita sama terakhir perempuan yang masih kecil sekali saat Mudita menghilang."

"Kira-kira berapa usianya?"

"5 tahun, neng."

Chika mengangguk, rumah sakit itu dibangun dua puluh lima tahun lalu, jika adiknya masih hidup, kira-kira usianya tiga puluh tahun. Chika mengusap bibir bawahnya lalu menatap Ratu yang terlihat sedang berpikir. "Nama lengkap keluarga Digjaya apa, nek?"

"Anggalarang Respati Digjaya."

"Nama keluarga mereka sangat unik, mereka sepertinya bukan berasal dari keluarga biasa, kita bisa minta data dari Pemda gak sih, Ratu?" Chika penasaran. Untuk mencari tau siapa Mudita, ia harus mencari tau latarbelakang keluarganya.

"Ngga bisa diakses seenaknya atuh, dokter nih ngaco." Ratu mendelik, aneh, kenapa Chika kadang-kadang sangat bodoh?

"Oh neng dokter? Mak mau periksa, tapi Mak teh gak punya uang, neng."

"Nenek kenapa?" Chika meraih tangan Marsinah dan tersenyum begitu manis. "Keluhannya apa?"

"Ini mak teh sering sakit badan, urat Mak suka pada sakit."

"Nenek besok datang ke RS ya? Jangan khawatir soal biaya, kebetulan besok saya yang praktek, datang siang aja ya, nek?" Chika masih tersenyum.

"Makasih ya neng, neng teh dari mana? Meni cantik pisan kaya bukan manusia." Marsinah baru menyadari betapa cantiknya perempuan ini.

"Manusia kok." Chika melepaskan genggamannya sambil tertawa kecil. "Nek, makasih ya atas informasinya, besok kita ketemu lagi ya? Kalo ada sesuatu yang nenek ingat, boleh ceritakan lagi sama saya besok ya, nek? Saya permisi." Chika meraih kembali tangan Marsinah, menyentuhkan dahinya ke sana.

Marsinah menggenggam bahu kanan Chika yang membungkuk kepadanya, "Keluarga Digjaya sudah meninggal, dia, istrinya dan anak laki-laki, tapi nenek gak tau ke mana anak bungsu Digjaya, neng bisa cari tau di mana dia kalo pengen tau banyak tentang Mudita." Marsinah tersenyum pada Chika. "Neng orang baik, Mak doain neng selamat sampai akhir."

"Terima kasih, nek." Chika membalas senyuman Marsinah dengan sedikit kikuk karena bingung kenapa kalimat terakhirnya seperti itu. Setelah pamit, Chika keluar dari rumah itu bersama Ratu. Chika harus berjalan cukup jauh karena mobilnya terparkir di pinggir jalan. "Hebat ya di kampung masih ada nenek nenek yang bahasa Indonesianya fasih."

ANDAM KARAMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang