10

2.8K 462 192
                                    

"Lo yakin mau masuk?" Marsha baru saja terbangun dari tidurnya, memandangi Chika yang sudah siap mengenakan seragam dokternya. Semalam ia memang sengaja tidur di kamar Chika untuk menemaninya.

"Iya." Chika memandangi wajahnya sendiri di depan cermin, matanya tampak sangat sembab karena menangis terlalu lama semalam. Chika sebenarnya merasa lemas, ia hanya tidur sebentar setelah dua hari begadang, tetapi ia tidak bisa meninggalkan pekerjaannya. Lagi pula jika ia izin pagi ini, ia akan bertemu Ara di rumah, ia belum siap menatap muka itu.

Chika keluar dari kamar saat waktu menunjukan pukul setengah tujuh pagi, di ruang tengah sudah ada Adel dan Ashel yang sedang sarapan, Ashel tentu akan bangun pagi karena kekasihnya itu tidak bisa membuat sarapan sendiri.

Ashel melirik ke arah Chika dan Marsha yang baru saja keluar, ia tidak ingin bertanya tentang apapun pada mereka, khususnya pada Marsha. Ashel menyuapi Adel sereal, sementara dirinya sendiri menikmati roti bakar.

"Pagi ini, hpnya aku yang pegang boleh?" tanya Ashel karena sudah hampir tiga hari ponselnya dipegang oleh Adel. "Kamu kerja, aku bosen di rumah kalo gak ada hp."

"Iya." Hanya itu jawaban Adel, Adel menoleh ketika Chika dan Marsha duduk di karpet. "Kamu udah baik-baik aja?" Adel khawatir melihat mata Chika yang sangat sembab. "Acel, semalem Chika nangis lama banget."

"Kenapa?" Ashel menatap Chika, ia menyentuh mata Chika yang sangat sembab. Jika seperti ini, sudah dapat dipastikan Chika menangis lebih dari sepuluh menit.

"Anjingnya mati." Bukan Chika, Marsha yang mewakili.

"Gue gak nanya lo."

"Lagian Chika nangis sekeras itu semalem lo gak denger apa? Atau pura-pura tuli?" Marsha yang sebelumnya berniat minta maaf jika bertemu Ashel jadi mengurungkan niatnya karena Ashel tampak menyebalkan pagi ini.

"Ngga denger." Ashel menggeser roti lainnya yang sudah ia buatkan untuk mereka. Ashel memang sangat marah pada Marsha, tetapi tentu tidak akan sampai setega itu tidak membuatkan Marsha sarapan.

"Tuli." Marsha meneguk air mineral yang Ashel siapkan. Jika Ashel yang menyiapkan sarapan, sudah dapat dipastikan ia hanya bisa minum air mineral karena Ashel sangat memperhatikan nilai gizi dan asupan gula.

"Lo ada masalah apasih sama gue sebenernya?" Ashel menatap Marsha, tidak cukupkah Marsha menyebutnya seorang jalang kemarin? Sampai Marsha harus menambahkan caciannya.

"Sesusah itu ya buat tau diri? Lo udah nyakitin sahabat lo sen-"

"-Berisik." Chika memotong kalimat Marsha dengan cepat karena ia tidak ingin terjadi keributan di sini. Chika menatap Ashel yang tengah saling pandang dengan tatapan tajam, pertengkaran apa yang terjadi antara mereka?

"Kalian kenapa?" Adel bingung karena tidak biasanya mereka bertengkar.

"Boleh nunggu di mobil gak? Ada sesuatu yang mau gue bahas sama mereka, ntar gue nyusul, biar gue yang nyetir tar." Chika meminta tolong pada Adel, Chika berharap kali ini Adel bisa sedikit mengerti. "Panasin dulu mobilnya."

"Iya, aku pergi dulu ya Cel?" Adel menyimpan ponsel milik Ashel, ia mencium dahi Ashel sebelum berjalan keluar dari rumah.

"Kalian ada masalah apa?" Setelah memastikan Adel keluar dari rumah, Chika bertanya hal itu, ia merasakan suasana berbeda antara mereka.

"Dia nampar gue kemarin." Marsha menjawab pertama. Jejak tamparan Ashel masih sangat membekas.

"Itu karna lo yang mulai duluan dengan bilang gue jalang, lo pikir lo siapa berani hina gue seenak jidat lo?" Ashel tidak mengerti kenapa Marsha malah menyudutkannya? Padahal sudah jelas kemarin Marsha sangat bersalah.

ANDAM KARAMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang