bab 11

2 2 2
                                    

"loh nak, mau kemana?" Tanya wanita paruh baya pada seorang pemuda tinggi yang siap dengan jaket hitam bermerek Adidas.

Si target hanya menoleh pada wanita yang sibuk dengan spatula ditangannya didepannya sudah terlihat kompor gas yang menyala membakar wajan berisikan ikan gurami.

Pemuda itu Ray. Ray hanya tersenyum lalu menghampiri ibunya itu. "Keluar sebentar Bu"
Jawabannya sembari menghirup aroma khas ikan goreng dengan tangan yang ia lambai menuju hidungnya.

Sang ibu tersenyum, lalu mengaduk kembali spatula itu pada wajannya. "Bara ikut?" Tanyanya lagi.

"Enggak" jawabnya singkat.

Mengenai bara. Bara benar-benar syok setelah mengetahui ibu dari temannya disekap untuk dijadikan ancaman, ia sedari kemarin menyumpah serapahi pelaku yang membuat Tante tersayang nya sedih. Ia benar-benar marah pada Ray karena tidak memberitahunya masalah sebesar ini.

Dia mengetahuinya bukan dari mulut Ray langsung. Tapi saat ia mengikutinya. Ia melihat Ray yang berhenti tepat didepan gerbang mansion besar, tak lama ia juga melihat ia memberikan sebuah Bogeman keras pada salah satu penjaga yang berada disana.

Ia hanya mengetahui tantenya disekap lewat dari mulut tantenya langsung dan soal ray harus melakukan apa kedepannya. Bara tak bisa menuntut penjelasan yang lebih lengkap karena melihat sang Tante yang tiba-tiba bersedih kala itu.

Bara menjadi prihatin pada Ray yang harus melepaskan sekolahnya demi urusan perusahaan yang bahkan belum ia tau sepenuhnya.

Bara saat ini berada dikamarnya, ralat bukan kamarnya tapi kamar Ray.

Tak ada lagi sambutan keceriaan baraa lagi. Mungkin karena situasi canggung dan aura Ray yang kini menggelap, dan hanya memperlihatkan wajah hangatnya pada ibu tercintanya.

"Ya udah, kamu hati-hati, jangan ngebut!" Nasihat ibunya tentu sajaa diingat oleh Ray. Ia memberikan senyumnya pada sang ibu dan pergi menuju pintu kost untuk menyalakan motornya.

"Oke Bu, Ray pergi" sahut Ray disela-sela langkahnya.

"Assalamualaikum"

"Waalaikum salam" balas sang ibu sembari menggelengkan kepalanya. Ia kembali bergelut dengan gorengannya.
.
.
.

19.30

Keluarga Bram sedang menyantap makan malam yang tersaji diatas meja. Mereka makan dengan suasana sunyi tanpa suara seseorang sedikitpun, begitupun Liana dan citra yang makan dengan lahap sambil sesekali tatapan mereka bertemu, tentu saja dengan tatapan tajam.

Rangga sendiri acuh, ia tau perdebatan dan permusuhan antara dua gadis didepan dan disampingnya ini, ia sedikit tidak peduli soal itu.

Hairin sedari tadi ingin sekali membuyarkan kesunyian tanpa candaan lugu dari putri semata wayangnya ini. Padahal Liana adalah orang pertama yang selalu memulai pembicaraan dengan terus mengoceh, hingga membuat kedua orang tua itu menggelengkan kepalanya.

Namun semenjak citra datang, tak ada lagi suara ocehan itu,  hanya diganti dengan aura dingin citra dan juga Liana.

Hairin menjadi bingung, kenapa Liana menjadi sosok yang dingin dan menjadi seseorang yang emosional?, terbukti ketika ia melihat Liana mendorong citra di pintu tadi secara kasar, dan tatapan tidak pedulinya itu.

Citra sendiri bingung, bukannya gadis didepannya ini lugu dan polos? Walau ia tak yakin ia tidak polos. Tapi perlakuan kasar itu tentu baru ia rasakan dari Liana, kalaupun Liana cemburu karena terus mendekati ibunya, Liana tentu hanya akan menatapnya marah dan cemburu tidak dengan melakukan kekasaran. Tapi... Apa yang terjadi sekarang.

Dinding PemikatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang