bab 12

2 1 2
                                    

"mah, beliin Liana hp dong"

Hairin menoleh pada gadis kuncir dua dengan selimut tebal yang menutupi tubuh mungilnya.

Senyumnya tidak juga hilang walau ditatap heran oleh ibunya, bukan tatapan itu yang ibunya herankan, tapi permintaan putri tunggalnya itu.

"Kok tiba-tiba nak?" Heran hairin yang masih memegang mangkuk kecil berisikan bubur.

Tangan satunya menggenggam sendok makan berukuran mini dengan bubur yang tersimpan, siap untuk memasuki mulut Liana.

"Cuman pengen aja mah, Liana juga pengen punya hp kaya anak lain" sebenernya Liana tidak pernah iri pada anak lain yang memiliki handphone.

Tetapi ia irinya pada pria jangkung yang ia temui beberapa Minggu lalu. Masih ingat kejadian dimana Liana dipotret?.

Hairin menganggukkan kepalanya mengerti, bukan berarti ia mengangguk mengiyakan. "Kenapa mintanya sama mamah nak, kenapa tidak minta pada papamu saja?" Ucap Liana sembari menyuapi Liana.

Bibir Liana yang tadinya melengkung keatas kini menjadi datar, masih dengan mengunyah bubur di mulutnya.

"Papah, ngga mau" gerutunya. Semenjak kejadian dimana papanya dipukul beberapa hari yang lalu, kini hubungan antara anak dan ayah itu seolah memudar.

Liana tidak lagi berbicara pada ayahnya, hanya sekedar saling tatap, ia tidak tau kenapa ia menjadi seperti ini.

Mungkinkah karena sifat posesif ayahnya yang malah mengekang hidupnya dari dunia luar, atau ada yang lain..

Jiwanya berkata, lawan saja pria itu. Namun hatinya berkata lain.

"Papah ngga pernah mau beliin Liana hp, Liana bahkan pernah dibentak sama papah cuman gara-gara itu" lanjut Liana setelah menelan habis bubur di mulutnya.

Hairin menatap prihatin pada gadis itu, nanti saja ia berikan pelajaran pada pria itu, enakk sekali dia membentak putrinya.

"Ya udah, nanti mamaah belikan..tapi dengan satu syarat..."

Liana sudah memasang wajah dengan mata lolinya. Matanya berbinar-binar ketika mamahnya akan mengikuti kemauannya, namun wajah itu berubah menjadi heran ketika mendengar kata syarat diakhir kalimatnya.

"Kamu harus baikan sama citra, dan ngga boleh berantem"

Liana membulatkan matanya, ia jadi teringat kembali kejadian semalam, dimana matanya benar-benar panas melihat citra begitu akrab pada hairin. Bisakah hidupnya aman untuk sementara, ia tidak ingin nama anak itu disebut...

Liana yang terbaring kemudian duduk, dan menyandarkan tengkuknya pada dinding kamar.

Tangannya terlipat, wajahnya kembali datar seperti saat pertama hairin datang ke kamarnya.

"Mamah sayang yaa sama citra?"

Hairin menatap intens anaknya, "iya nak, mamah sayang sama kalian berdua" tutur hairin. Tangannya meletakkan mangkuk dan sendok itu pada nampan kembali.

"Mamah ngga pernah mau membedakan kalian, kalian itu kesayangan mam--"

"Jadi mamah juga sayang sama anak yang ditinggal orang tuanya itu" potong Liana, suaranya sedikit berat, ia tidak cengeng, tapi kalau mengenai hal ibunya, ia menjadi suka mengeluarkan air bening itu.

"Lianaa!!, kamu nggak boleh gitu, kamu nggak kasian samaa citra, yang belum pernah mendapatkan kasih sayang kedua orang tuanya?"

"Tolong mengerti sedikit nak, citra juga butuh sosok ibu, citra itu sebenernya baik nak, cuman dia menjadi begitu gara-gara kedua orangtuanya yang pergi meninggalkannya. Paham!"

Dinding PemikatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang