TAK MENYANGKA

8 2 1
                                    

"Kak," panggil Fazil kepada Eli yang kini berdiri tegak di depan pintu kamar si sulung. Eli tersentak dan menoleh ke arahnya, sembari tersenyum kaku.

"Ada apa?" tanyanya, Fazil menatapnya curiga.

"Kenapa kau di sini? Kau tau, kan, Ayahanda menghukum Kak Varel dan dia tak dibolehkan untuk bertatap muka dengan kita, bukan? Jika Ayahanda tau kalau kau bertemu dengan Kak Varel sebelum masa hukumannya habis, maka Ayahanda akan menghukum Kak Varel lagi. Aku tak mau itu terjadi." Eli terkekeh mendengarnya.

"Benarkah? Aku tidak tau, jika Kakak sedang dihukum. Padahal aku yang salah."

"Itu karena kau tak menjelaskannya kepada Ayahanda dan Ibunda! Jangan sok baik, gue ga suka!" ketusnya, Eli mengerucutkan bibirnya, Fazil menghela napas. Kalau Fazil memakai bahasa lo-gue, itu tandanya dia tidak menyukai orang itu.

"Hh, sudahlah. Ngomong-ngomong.."

"Apa yang baru saja kau selipkan di kamar Kak Varel, Kak?"

"Kenapa lo berkeliaran? Bukankah lo lagi terluka?" sindirnya.

"Oh, gue lupa, kalau lo itu ga terluka sama sekali. Mana ada, orang yang menjebak seseorang lalu ia terluka? Ngaku ga lo. Lo, kan, yang udah ngerancanain ini semua, buat bikin Kak Varel terluka, lalu dimarahi oleh Ayahanda?!" Bibir Eli terangkat sebelah, lalu ia tertawa geli.

"Siapa yang ngajarin kamu kayak gini? Ga sopan sama Kakaknya sendiri, pakai bahasa lo-gue, udah gitu, main tuduh lagi."

"Gue ga peduli!" tandasnya, Eli menatapnya datar.

"Gue tanya sekali lagi. Apa yang lo selipkan di kamar Kak Varel?!"

"Kamu tau, kan, apa akibatnya jika bersikap tak sopan kepada Kakakmu ini?" Fazil yang mendengarnya kini menatapnya jijik.

"Belum aja dijawab, udah ganti topik."

"Tadi aku menyelipkan obat yang Kakak minta. Jangan salah paham deh," jawabnya.

"Benarkah? Obat apa?"

"Obat nyeri, sama obat penambah darah. Sekarang jelas, kan? Jangan nuduh yang aneh-aneh, Zil," ujarnya, Eli menatapnya tak suka, lalu kemudian ia pergi meninggalkannya sendirian di sana.

[~▪︎~]


"Sudahlah, lebih baik lo di rumah saja. Gue yang akan pergi ke sekolah besok," ujar Reverse, ia berdiri menghadap Gev dan bersandar pada dinding. Gev menatap mata merah darah itu dingin.

"Ngapain?" tanyanya dingin.

"Gue mau ketemu sahabatnya Brixton. Ada yang mau gue urus. Lo, kan, masih sakit, masa lo berangkat," jawabnya.

"Gue ga peduli, sekarang Anka masih belum aman, dan gue harus ngelindungi Anka. Memangnya lo tau yang mana orangnya?" ketusnya.

"Tau dong. Gue ini sering mantau lo dari kalung lo itu. Gue tau semuanya."

"Ga! Lo ga boleh ke sekolahan. Lo itu-"

"Kalau lo ga izinin, mending gue masuk ke tubuh lo aja kalau gitu," potong Reverse.

"Gue ga mau. Gue udah bilang, kan, tadi? Ga usah maksa."

"Loh, kok, lo nolak? Apa lo ga ingat, kejadian tadi siang yang menimpa Eli? Lo hampir aja mati tadi. Dan itu, gue nyelamatin lo. Jadi, gue ini ga terlalu berbahaya."

"Ga. Gue tadi siang ga minta lo buat bantuin gue, kan? Lagian mending gue mati di tangan tuh orang, daripada kena omel di rumah. Lagian, lo itu kekuatan langka yang membahayakan manusia, gue ga bisa biarin lo bekeliaran bebas. Bisa-bisa manusia lainnya terluka nanti," jelasnya.

JERITAN ANAK PERTAMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang