MAAF...

6 1 0
                                    

Seorang anak kecil sekitar umur 12 tahun sedang duduk manis di dapur, menikmati makanannya. Tak lama kemudian, dirinya tersentak kaget begitu mendengar suara tangisan. Ia berlari kecil menghampirinya yang tengah menangis kencang di kamarnya.

"Kenapa kau menangis, Fakhru?" tanyanya lembut. Anak berusia 10 itu menjawabnya di dalam tangisannya. "Mainanku..dihancurin..sama Fakhri.." Kakaknya itu terdiam, lalu tersenyum lembut.

"Don't cry anymore, okay? Brother bought a new toy for you. Come on, let's buy it now." Mendengar ucapan Kakaknya, Fakhru berhenti menangis, menatapnya tak percaya.

"Be-beneran?" Kakaknya mengangguk sembari tersenyum tipis. "Yes, Brother means it." Senyuman indah terukir di wajah manis sang Adek. Mengangguk cepat dan menarik tangan sang Kakak.

"Come on! We buy now!" girangnya, ia tertawa kecil. "OK, OK. But take your wallet first, okay?" Fakhru mengangguk dan menunggu Kakaknya di teras rumah. Raut wajah gembiranya masih terukir jelas di sana. Setelah Fakhru menunggu sang Kakak, mereka berjalan keluar dan berjalan menuju ke toko mainan. Jarak rumah mereka dengan toko mainan hanya 5 meter. Fakhru mengambil mainan yang ia sukai, dan menaruhnya di kasir. Setelah sang Kakak membayarnya, mereka berjalan pulang. Sang Kakak tersenyum tipis melihat Adeknya kegirangan.

•GFA•


Pintu kamar terdengar di ketuk berulang kali dan terdengar keras. Pemilik kamar segera membukanya dan menatap siapa yang telah mengetuk pintunya. Seketika, tubuhnya terkapar di lantai akibat tamparan dari Ayahnya. Menatap marah anak itu.

"A-ayah? Ke-kenapa-"

"Jawab dengan jujur, Varel. Apa kau yang telah membuat Fakhru menangis?" ujarnya dengan nada dingin, namun, raut wajahnya terlihat sedang menahan amarah.

"Apa? Aku? Kenapa Fakhru menangis?" Tangan sang Ayah terangkat kembali, mencengkram kuat kerah bajunya, menatap wajah anaknya marah.

"Kenapa kau bilang!? Fakhru menangis gara-gara kamu, Varel!! Kau apakan dia!!? Jawab dengan jujur, sebelum Ayah menghukummu!!" serunya, anak itu menatap Ayahnya tak percaya.

"Bukan aku yang telah membuat Fakhru menangis, Ayah! Aku sedari tadi berada di kamar! Aku tak tau jika Fakhru menangis! Jangan salahkan aku!" Salah satu tangan Ayahnya terangkat kembali, bersiap-siap untuk menamparnya. Sekali lagi, tubuh anak itu terkapar di lantai. Tamparannya tak main-main.

"Jangan 'salahkan aku' katamu!? Ayah dengar sendiri dari Eli!! Bahwa kamu lah yang telah membuat Fakhru menangis!! Kau merusak mainannya, bukan!? Jawab, Varel!!"

"Sudah Varel bilang, kan, Ayah!? Varel menjawabnya dengan jujur!! Eli berbohong, Ayah!! Yang telah merusak mainan milik Fakhru itu Fakhri!!"

"Jangan menyalahi Eli dan Fakhri, Varel!!"

"Bukan salah Varel, Ayah!! Varel tak menyalahi mereka!! Tapi itu memang benar!!" teriaknya, sang Ayah menggertakan giginya marah, berjalan mendekati anak itu dan menyeret tangannya. Anak itu memberontak, memohon untuk melepaskannya sembari menangis. Sang Ayah melemparkan tubuhnya sehingga mengenai dinding dengan kuat. Sehingga mulutnya mengeluarkan darah.

"Ayah sudah bilang, kan?!! Jangan pernah membuat adekmu menangis!! Jangan pernah membuat mereka terluka!!" bentaknya. Anak itu menatap sang Ayah kosong. Kemudian sang Ayah mendekatinya dan mencengkram kuat pergelangan tangannya. Anak itu kembali merengek. Memohon untuk dilepaskan.

"Masih tak mau mengaku, hah?!" ujarnya sembari memperkuat cengkramannya. Anak itu menggeleng.

"Bukan salah Varel, Ayah. Lepasin, Yah, Varel mohon.." ucapnya dengan nada memelas sembari menangis. Sang Ayah kemudian menghajarnya dengan tanpa ampun. Membanting tubuh anak itu dengan kuat ke lantai. Hidungnya mulai mengeluarkan darah, ia mulai batuk. Batuk yang mengeluarkan darah. Lalu Ayahnya pergi dari sana, meninggalkan tubuh yang malang itu sendirian di ruangan yang gelap, sepi, dan kotor. Mengunci ruangan tersebut.

JERITAN ANAK PERTAMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang