Kesaksian

11 0 0
                                    

Si penjual toko kelontong menyeringai. Giginya yang kuning dan besar-besar serasi dengan bau mantelnya yang apak seperti tidak dicuci berhari-hari. Baik Montgomery maupun Gideon tidak gentar berhadapan dengannya, hanya sedikit terganggu dengan kedatangannya yang tiba-tiba.

"'Alo," kata sang ksatria, mulutnya yang tipis juga membentuk seringai tajam yang lebih kelihatan seperti senyum yang dipaksakan. "Anda lupa mengetuk ketika saya tidak mempersilakan Anda masuk. Mengapa Anda menyusul kami, Tuan? Apa kami lupa membayar lampu minyak?" Montgomery mengangkat lampu yang baru dibelinya dari gerobak.

"Nay, aku hanya ingin memberitahu kalian sesuatu," jawab si penjual toko kelontong. Aksennya seperti orang Moontrose Utara dengan nada dingin yang menjemukan. "Untuk selanjutnya, panggil aku Binns. Aku tak suka dipanggil 'Tuan' tapi kalian bisa panggil aku Binns. Nah, aku harap tidak mengganggu kalian kalau aku tiba-tiba mengatakan ini—tapi ini penting, kalian tahu? Aku sudah lama tinggal di Heatherville, dan seumur hidupku, aku belum pernah melihat orang Druid betulan. Aku hanya penasaran, mengapa kalian begitu tertarik pada mereka?"

"Oh, jadi itu yang membawamu," kata Gideon dengan nada mencemooh. "Asal tahu saja, aku dan Gibbs punya urusan kami sendiri, oke? Lagian, bukan kebetulan kami bertemu dengan orang Druid di tempat seperti Heatherville."

"Kami ingin tahu," Montgomery menimpali, "bagaimana pria terhormat seperti Alabaster bisa terdampar di desa damai dan terteram ini?"

Tawa melengking dan gila meledak dari mulut si penjual toko kelontong. "Ah-ha-ha-ha... kalian mencoba bergurau, ya? Oh-ho-ho-ho... lucu sekali! Kalian bilang manusia keji itu terhormat?! Hua-ha-ha-ha...!"

"Kami tidak bergurau, Sir, sama sekali tidak," kata Montgomery, terganggu dengan suara tawa si penjual toko bernama Binns tersebut.

Setelah penjual itu berhenti tertawa, gaya bicaranya kembali ke nada yang membosankan. "Well, kalau begitu Anda-Anda ini tak terlalu cerdas, ya? Nyonya Tua Gilligan tewas di kediamannya pagi ini. Bukankah aneh, bahwa hal itu terjadi begitu saja setelah pria keji itu datang kemari?"

"Siapa?" tanya Montgomery.

"Ibu Aumora," kata Gideon. "Maaf, Sir, saya tahu persis kejadian itu dari Aumora sendiri. Nyonya Gilligan meninggal dini hari, bukannya pagi hari!"

"Yah, tidak semua orang bisa mengingat segalanya dengan tepat, kan?" kata Binns tenang.

"Sebenarnya apa mau Anda, Sir? Memperingatkan atau hanya merecoki kami dengan gosip tidak jelas?" tanya Montgomery tajam. Dia masih menggenggam pangkal pedangnya dengan erat. "Hari sudah terlalu siang, dan kami harus pulang karena masih punya pekerjaan di rumah. Kami tidak bisa berlama-lama di sini."

"Well, kalau begitu pergilah," kata si penjual kelontong sembari mengangkat bahu. "Aku tidak melarang kalian pergi, kok. Aku hanya ingin menghentikan kalian!"

Kepala penjual toko kelontong yang botak itu berputar ke belakang. Seringainya yang mengerikan lenyap. Sementara asap hitam yang bergulung-gulung menyebar dari ujung kepala sampai kakinya, lalu menyelimuti tubuhnya hingga sekeliling kedua sahabat itu. Montgomery dan Gideon terbatuk-batuk saat asap itu menutupi jalur pernapasan mereka, serta memblokir penglihatan mereka. 

Sedetik kemudian mereka mengangkat wajah, orang bernama Binns itu sudah lenyap. Tahu-tahu mereka juga berada di tempat yang berbeda. Masing-masing dari mereka melihat sekeliling. Di kanan-kiri jalan tempat mereka berdiri sekarang ada pohon-pohon ek tinggi dengan bentuk yang mengerikan dan berbonggol-bonggol. Semak-semak berduri dan suara serangga terdengar di sekitar mereka, entah itu di dalam pohon atau di atas kepala mereka. Montgomery mengelak saat seekor serangga berekor tajam melintas di dekat keningnya. 

MAHKOTA BERDURIWhere stories live. Discover now