Pertarungan di Atas Menara

6 0 0
                                    

Montgomery memandang ke bawah dengan cemas. Pemandangan gunung yang berbatu-batu dan tebing-tebing curam tampak jelas dari ketinggian. Tampak pula reruntuhan mercusuar tua. Bebatuan yang dulu menyusun konstruksinya berserakan seperti remah-remah roti yang terbengkalai. Matahari semakin meredup. Awan mendung bergulung-gulung di atas kepala mereka. Terdengar bunyi kepak sayap kelelawar yang berputar-putar di atap. Suara nyaring para Gargoyle bersahut-sahutan disusul gerung amarah Beamshooter dan makhluk-makhluk mengerikan lain yang bermuka seram. Mereka siap keluar saat malam tiba. Tapi keadaan di sana tidak menyerupai malam, bahkan bisa dikatakan bahwa waktu tidak berlaku di tempat itu. Sama-sama suramnya. Sama-sama tandus. Sama-sama beraroma keji.

Tidak ada yang bicara. Awan hitam semakin tebal dan pekat. Suara petir bergemuruh dan kilat menyambar-nyambar. Angin bertiup kencang dan berputar-putar. Aumora dan para pengembara harus berpegangan pada sisi-sisi balkon supaya tidak diterbangkan angin. Kilat menyambar atap menara yang runcing. Cahaya yang menyilaukan berkelebat. Kemudian disusul suara menggelegar, sosok tinggi seperti siluet hitam muncul di hadapan mereka.

"Usaha yang bagus, teman-teman kecilku," katanya lembut. Bibirnya yang tipis membentuk seringai yang memperlihatkan gigi-gigi putih dan runcing. Matanya yang merah berkilat-kilat. "Sayang sekali kalian harus terjebak di sini. Ada masalah apa? Kalian takut ketinggian?"

Gideon menghunus pedangnya. Tatapannya penuh kebencian. "Sudah kuduga akhirnya kau akan menampakkan diri juga, Alfendork," kata Gideon tajam. "Benar-benar sikap yang tak pantas dimaafkan! Menyekap seorang perempuan tak berdosa untuk dijadikan umpan, lalu menyiksanya habis-habisan! Akulah yang kaucari selama ini, bukan? Sekarang, ayo hadapi aku! Takkan kuampuni orang yang memperlakukan Aumora dengan kasar!"

"Wah, wah, wah," kata Alfendork. Tawanya begitu dingin dan mematikan. "Untuk ukuran penyihir muda, kau punya nyali yang besar. Tapi jangan kau mengira bahwa aku tidak segan-segan membuatmu lebih menderita, wahai Teman Kecil."

Gideon tersentak. Dia mencoba bergerak, tapi tubuhnya membeku seperti dialiri es. Dia mencoba berteriak, tapi suaranya tercekat. Pedangnya jatuh berkelontangan.

"A-a-apa yang k-k-kau lakukan?" geramnya.

"Sebaiknya kau melawan, Nak," kata Alfendork, tawanya semakin terdengar keji. "Lawanlah. Kau penyihir, bukan? Buktikan bahwa kau bisa menandingi Alfendork yang tiada duanya!"

Aumora merintih ketakutan. Montgomery dan Alabaster diam di tempat. Ini pertarungan Gideon. Mereka tak bisa melakukan apa-apa.

Di tengah-tengah rasa sakit yang menjalari tubuhnya, Gideon mengingat kembali saat-saat terakhir ayahnya sebelum meninggal. Kata-kata terakhirnya terngiang jelas di telinga Gideon.

"Sudah—waktunya—pulang..."

Tiba-tiba sekujur tubuh Gideon terasa lebih kuat. Entah kekuatan apa yang menembus tubuhnya. Kekuatan itu perlahan-lahan merasuk ke dalam jiwanya. Mengalir melalui pembuluh darahnya. Memancar dalam bentuk cahaya biru yang mengalahkan panasnya matahari. Sekejap kemudian, Gideon membuka mata. Kekakuan pada tubuhnya berangsur-angsur hilang. Dia menatap seringai tipis Alfendork yang kini lebih mirip ekspresi terkejut.

"Kau benar, Dad," kata Gideon, mengucapkan kalimat itu tanpa kesulitan. "Sudah waktunya untuk pulang. Aku akan pulang setelah menyelesaikan pertarungan ini."

Alfendork merentangkan kedua tangannya ke samping, lalu berputar di tempat sambil mengucapkan kata-kata yang tidak seorangpun di tempat itu tahu apa maknanya. Kilat dan guntur kembali menggelegar di langit. Awan hitam berputar semakin cepat membentuk corong raksasa yang ujungnya berada di kedua tangan Alfendork. Angin menderu kencang seperti penghisap raksasa. Montgomery, Alabaster, dan Aumora nyaris terangkat ke langit kalau Gideon tidak mengulurkan tangan untuk menahan mereka. Kekuatan baru itu memberinya semacam kemampuan menggerakkan benda-benda yang jauh darinya. Dia mengacungkan jari ke arah bongkahan-bongkahan batu dari reruntuhan, lalu melemparkannya ke arah Alfendork. Batu itu pecah berkeping-keping sewaktu menghantam putaran angin yang mengelilinginya.

MAHKOTA BERDURIWhere stories live. Discover now