Dua minggu kini sudah Agam dan Aretha berpisah. Agam kembali pada kehidupannya sebelum Aretha hadir kembali dikehidupannya. Menyimpan rindu yang menyesakkan, menyimpan rasa cinta yang tak terbalas, mencoba acuh meski penasaran, mencoba terbiasa meski sulit. Agam, memyimkan semuanya baik baik. Mungkin, Aretha pun sama, kembali pada kehidupannya.
"Menurut lo baju ini bagusnya warna navy atau abu yang cocok sama gue?"
"Abu cocok."
"Tapi gue lebih srek ke navy, bagus gitu."
"Terus kenapa lo nanya gue kalau lo udah punya pilihan?"
"Ya... gue juga pengen denger pendapatan orang lain. Kan, kalau pake baju atau apa yang kita pakai kata orang harus diliat bagus atau jeleknya sama orang lain. Belum tentu kan yang gue kira bagus emang beneran bagus?"
"Ah, elo mah terlalu merhatiin omongan orang lain. Gini ya, lo yang pake, lo yang beli, dan itu pilihan lo. Ngapain peduliin komentar orang lain? Itu kehidupan lo, milik lo, gimana lo mau gimanain hidup lo. Bro, sekarang udah zaman modern. Udahlah, gak gaul hidup masih mikirin omongan orang lain. Apalagi, omongan itu bikin lo gak percaya diri."
"Betul! Kaya gue dong! Pake apa yang gue inginkan, gak pernah tuh gue dengerin omongan orang lain. Ini kehidupan gue, gue yang atur, gue yang tata, dan gue yang jalanin!" Agung menjentikkan jarinya. Berlagak membenarkan rambut hitamnnya yang sudah panjang. Jaket kulit yang menutupi seragam sekolahnya membuat dirinya terlihat keren.
Agung duduk ditengah tengah Andre dan Alan yang sedang berbincang mengenai warna baju. Agung rangkul kedua bahu sahabatnya itu. Mata yang selalu menyiratkan tatapan jenaka itu menatap si empu yang meminta rekomendasi warna baju. Salah satu anggota the dream angele. "Menurut gue, warna abu atau navy cocok di warna kulit lo. Tapi gue saranin, lo ambil warna yang emang bener bener pilihan lo dan Menurut lo cocok. Biar pas dipake lo merasa percaya diri."
Irham, si empu mengangguk. "Oke deh, gue pilih warna navy. Ini warna yang memikat gue pas waktu pertama kali liat. Thank bang abang atas motivasi nya."
Agung memgangguk, "yoi, gak masalah."
"Motivasi gimana? Apa iya omongan gue barusan lo anggap motivasi?" Andre menyipitkan matanya. Tidak menyangka kata kata yang keluar dari mulutnya tapi dianggap motivasi oleh Irham.
Irham mengangguk, "iya motivasi, motivasi biar gue pede dengan apapun yang ada di diri gue. Dan motivasi buat gue lebih percaya diri dan gak usah terlalu dengerin omongan orang lain. Lagi, samaa motivasi biar gue yakin dengan pilihan gue." Irham melekukan bibirnya menjadi senyuman.
"Syukurlah kalau lo anggap omongan kita motivasi, jadi kata kata gue sama Andre sekarang berguna." Alan mengangguk angguk mengerti, menepuk bahu Irham. Merasa bangga dan bersyukur karena kata katanya berguna dan dapat memotivasi.
"Lain kali gue mau adain seminar biar kata kata gue jadi berguna lagi, bukan buat lo aja Irham, tapi juga buat seluruh umat manusia dimuka bumi ini."
"EMANG SELAMA INI KATA KATA GUE GAK BERGUNA HAH?!" Andre mengeplak belakang kepala Alan membuat sang empu mengaduh. Keluar sudah kebiasaan darah tinggi Andre. Suka marah marah, tidak bisa mengontrol emosi dan berteriak teriak.
"Ya, gak berguna. BISANYA KAN LO KOAR KOAR GAK JELAS MARAHIN GUE YANG PUNYA SALAH KECIL BENER KATA ALAN! WLEEEEE!!"
"ANJING LO AGUNG GUK GUK! MATI LO SINI!!" Agung membela Alan.
Pecah sudah sekarang isi markas oleh dua manusia yang satu jahil yang satu tidak bisa menahan emosi. Yang ada disana hanya bisa geleng geleng kepala melihat tingkah keduanya yang sekarang sedang kejar kejaran mengelilingi markas. Sudah bukan hal yang aneh lagi, keributan semacam itu memang sering terjadi jika keduanya dipersatukan.
KAMU SEDANG MEMBACA
kesalahan | Agam [On Going]
Fiksi Remaja[Squel Menikah dengan CEO?] Blurd Kesalahan, adalah jalan yang gue ambil demi mendapatkan Lo, gue egois. Ya, itu gue, Agam Januarga Abraham. Agam, dia... Tuan kaktus yang egois.