gerhana

2.7K 61 13
                                    

Yah, sekiranya pagi itu, Michie dan aku tengah bersiap-siap untuk pergi ke sekolah. Seperti biasa, aku percayakan pada Pak Bambang untuk memanaskan mobil Porsche kebanggaanku. Baru saja duduk bersanding, Michie kebetulan baru saja mengambil sepatu sekolahnya.

"Dah?", tanyaku, ketika aku beres berpakaian serupa mengancing kemejaku bagian atas, juga dengan merapikan kerah baju diikuti oleh sedikit menggulung naik kemeja lengan panjangku ini.

"Duh.. Ichie lupa cara ikat tali sepatu gimana, pih..", jawabnya yang kebingungan menerapkan simpul ikatan sepatunya.

"Sini.."

Aku pun langsung berlutut satu kaki, lalu mulai mengikatkan tali sepatunya untuknya. Bergantian kiri ke kanan, Michie tidak melihat simpulnya, melainkan ke wajahku. Entah usil atau memang ada alasan tertentu, Michie malah mengusap pipiku.

"Chie?", aku kaget, karena ia malah memandang wajahku, bukan mempelajari simpul ikatan yang kuberikan padanya.

"Ehe.. udah, pih?"

"Dah. Kamu ga belajar cara ikat tali sepatu dari papi?"

"Ngga, ehe.. aku liatin papi dari tadi...", ungkapnya.

"Udah dulu ya sayang-sayangnya, Ichie sekolah dulu.."

"Rasanya pengen bolos aja, pih. Mau berduaan sama papi aja.."

"No no no, ga boleh. Papi udah bayarin kamu mahal-mahal buat SPP sama uang pokok lainnya, masa bolos sih?"

"Kayak gimana ya, pih.. rasanya kenapa makin kesini aku makin bucin sama papi, ya?"

"Mungkin perasaan Ichie aja, ya?", jawabku seadanya.

"Enggak, ini beneran pih.."

"Udah dulu ya bucinnya, sekolah dulu ya sayangnya papi. Nanti pulang bisa lanjut kok..", selepasnya, kami berdua berdiri.

"Eh iya, Belmont sama Monaro udah dikasih makan?"

"Udah. Sebelum kamu bangun pun udah papi kasih makan malah.."

"Oh, thank you papii.."

"Apalah, udah rutinitas juga. Lucu kamu ah.."

"Iyalah, kan Ichie emang lucu..", gemas raut wajahnya terpejam serta tersenyum, sambil kedua tangannya berpose menopang dagunya.

"Dah, ayo pih.."

Lalu, kami berdua pun berjalan keluar dari pintu rumah, lalu menuruni tangga hingga menuju halaman rumah. Disana, Pak Bambang sepertinya baru selesai mencuci mobilku juga.

"Baru dicuci, pak?"

"Barusan, bos.."

"Yaudah, tolong pintu pagarnya dibuka.."

"Siap, bos.."

Mematikan keran dan menaruh ember yang berisi sabun dan spons, Pak Bambang bergegas untuk membuka pintu pagar rumahku. Kami berdua pun masuk kedalam Porsche, lalu tak lupa memasangkan sabuk pengaman yang utama. Kemudian tak beberapa lama, mobil pun mulai mundur hingga menyentuh jalanan gang ini. Roda depan mobil yang berputar, disusul oleh akselerasi Porsche-ku yang melesat meninggalkan rumahku dalam waktu sekejap saja. Memasuki persimpangan, sudah sewajarnya mobilku melambat untuk berbelok. Setelah kupastikan kedua sisi itu aman, maka aku melesat lagi meninggalkan persimpangan itu.

Di tengah perjalanan, tanganku bertengger diatas tuas transmisi itu. Tangan kananku fokus pada setir, seraya kedua mata terus bergerak melihat ke sekeliling, memastikan situasi tetap aman. Namun dilain sisi, Michie menggenggam punggung tanganku, tanpa menoleh kearahku.

"Hm?", tanyaku singkat.

".....", alhasil, Michie sengaja tak merespon.

"Kenapa, Chie?"

ꜱɪᴍᴘʟᴇ ᴘʟᴀɴTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang