...
Ku cukup cepat menyetir sampai kemari, gesit lewati tiap mobil bak Rossi, tentu bermental kuat bak tembok Holc*m 'tuk kemudikan mobil bermesin buas, serupa monster Jerman ini. Banyak kendaraan ku lewati. Mulai dari truk gandeng, mobil, bus sampai kaum pengendara motor yang menyala sein kanan tapi enggan berbelok ke kanan.
"Ah, akhirnya sampai juga..", hela nafasku kemudian, lalu mobil ini akhirnya dapat berhenti sekedar mengistirahatkan dapur pacu dan keempat rodanya.
Mesin mobil seketika mati, setelah satu tombol pamungkas tersebut ku tekan.
Aku keluar dari mobil, lalu duduk di kap depan seraya ku kenakan kacamata hitamku. Pokoknya, hari ini aku merasa seperti orang yang berkharisma.
"Halo om..", tiba seorang gadis menyapaku. Segera, aku menanggukkan kepalaku keatas membalas sapaannya.
Gadis itu tampak tingginya sesuai rata-rata pada umumnya, dan berwajah ayu bak kembang desa.
"Halo Lana..", balasku.
Tentu saja aku mengenali siapa-siapa saja yang menjadi rekan kelas anakku, dan Lana juga kebetulan satu kelas dengan Michie.
"Lan, sini bentar deh..", panggilku.
Lalu mengubah arah langkahnya, ia mendekat seraya memegang erat ke selempangan ranselnya itu.
"Iya om?"
"Lana udah denger kabar dari Oline belum?"
"Oh, si Michie?"
"Iya. Udah denger?"
"Udah kok.."
"Yaudah. Jangan lupa dateng, ya..", pesanku padanya. Tak banyak yang hendak ku bicarakan padanya, dan aku rasa hal itu cukup untuk menyelingi perbincangan dengan teman-teman anakku sendiri.
"Iya om, nanti aku dateng kok..", balas Lana, kemudian gadis itu meninggalkanku dan mulai masuk ke sebuah mobil. Entah, mungkin ayahnya sudah menunggu di dalamnya.
Disisi lain, beberapa remaja-remaja laki-laki juga turut menyapaku yang duduk bersandar pada kap mobilku.
"Om Wawan!"
"Oit!", balasku seperti biasa. Sudah sering mereka menyapa seperti itu, kemudian mereka pun pergi sesaat setelah menyapa saja.
"Nungguin Michie?"
"Yoi.."
"Itu bokapnya Michie tuh, cewe jutek di kelas kita. Kayak bukan orang Indo anjir...", bisik salah seorang murid dengan teman di kedua sisinya.
Aku mendengarnya, dan entah sudah kali yang keberapa terdengar kalimat senada dengan itu.
"Rupanya, ada untungnya juga ya jadi blasteran Rusia - Inggris - Indonesia..", gumamku.
Dan akhirnya seperti biasa, Michie berjalan santai dengan teman sebayanya, menemui siapa saja yang tengah menunggunya saat pulang sekolah.
"Daahh Gracie! Ei papi!", sapanya riang dengan senyuman manisnya.
"Eh, sayang udah pulang?", ucapku seraya mengusap rambutnya.
Kemudian Michie terdiam lalu merespon dengan menutup mulutnya dengan tangannya, seperti ada sesuatu yang membuatnya salah tingkah. Namun, seketika ia menoleh kepadaku dengan alis yang menukik tajam kedalam.
"Papi! Ichie marah ya!", sang gadis lucu ini kemudian berkacak pinggang, bak murka besar.
"Lah, kenapa?"
"Ichie marah!", terus ia berusaha untuk memimikan ekspresi marah, walaupun ada sesuatu yang mencoba untuk menggagalkan raut wajah itu.
"Eh?", responku singkat.