Ia terbangun lalu mengambil jam tangan yang diletakkan di meja samping tempat tidur. Sekarang pukul 01.00. Ingin sekali ia kembali meringkuk ke dalam selimut dan melanjutkan tidur, tetapi rasa kantuknya sudah hilang.
Ia beranjak dari tempat tidur dan berjalan menuju pintu kaca besar yang mengarah ke balkon kamar. Ia menggeser pintu kaca dan merasakan angin malam yang langsung menyentuh kulitnya. Pandangannya tertuju ke hamparan laut gelap saat melangkah menuju tiang balkon dan berdiri termenung selama beberapa saat.
Bayangan itu selalu muncul dalam mimpinya setiap kali ia mendapat tugas untuk mengurus suatu pernikahan. Bayangan akan seorang pria yang sudah menghancurkan hidupnya dan membuatnya menjadi wanita yang menolak jatuh cinta. Sasha mengembuskan napas panjang.
"Bebanmu berat sekali."
Sasha terkejut mendengar suara Ted dari balkon sebelah dan langsung menoleh ke arah pria itu. Dua hari berlalu sejak pertemuan mereka di bar dan semenjak itu Ted tampak seperti menjaga jarak darinya, yang membuatnya merasa semakin bersalah. Meskipun sesekali Ted melemparkan senyum hangat padanya, namun sisi lain dalam dirinya seakan memaksa Sasha untuk tetap bersikap acuh pada pria itu.
"Bukan urusanmu," jawab Sasha ketus.
"Aku bersedia menjadi tempat untuk berbagi," bujuk Ted, berusaha bersikap seperti sahabat.
"Aku tidak perlu tempat berbagi," sahut Sasha tipis, lalu memalingkan pandangan ke laut.
"Baiklah," balas Ted yang perlahan-lahan bergerak ke sisi lain balkon agar semakin dekat ke sisi balkon Sasha. Ia tidak memedulikan apa yang pria itu lakukan, pandangannya tetap lurus ke depan.
Ia bisa merasakan tatapan menyelidik yang Ted berikan, namun Sasha berusaha untuk tidak berkutik. Ingin rasanya ia menghapus kegundahan dalam dirinya, namun ia tidak tahu bagaimana caranya. Sasha mengembuskan napas panjang beberapa kali sementara pikirannya tertuju pada masa lalu.
"Apa kamu pernah mencintai seseorang?" tanya Sasha tiba-tiba. Datar dan dingin.
"Aku? Ya. Aku pernah mencintai seseorang dan sampai sekarang pun aku masih mencintainya," jelas Ted sambil bertumpu pada pinggiran balkon.
"Apa kamu pernah merasakan sakit karena orang yang kamu cintai?" tanya Sasha lagi. Tatapannya kosong dan pikirannya melayang entah ke mana.
"Tentu saja," jawab Ted diiringi embusan napas panjang, "aku masih merasakan sakit itu, tapi aku mencoba untuk bangkit dan kuat."
Sasha kembali terdiam, pikirannya kembali tertuju ke masa lalunya, dan seketika itu pula rasanya ia ingin menangis. Sasha memejamkan mata, menekan dan mengubur sisi lain yang berusaha mengendalikannya.
"Maaf, aku sudah bertanya yang tidak-tidak," ucap Sasha sebelum berbalik dan melangkah menuju pintu kaca.
"Tunggu!" panggil Ted cepat. Sasha berhenti melangkah, lalu menoleh. Air mata jatuh begitu saja tanpa isak tangis sedikit pun. Sasha memalingkan wajah dan segera masuk ke kamar, meninggalkan Ted yang tampak kebingungan.
*****
Sasha melakukan pekerjaan seperti biasa selama tiga hari belakangan ini, dan tak terasa hari pernikahan sepupunya sudah semakin dekat. Ia bertemu dengan vendor katering dan pihak dokumentasi yang sudah ia pesan sejak jauh hari. Ia juga tidak lupa membicarakan susunan acara dengan MC dan calon pengantin.
Kemarin, setelah calon pengantin melakukan gladi bersih, Sasha kembali mengumpulkan tim yang ia percaya untuk technical meeting. Ia membacakan kembali rundown acara secara keseluruhan dan meminta agar seluruh tim bisa bekerja sama dengan baik mulai dari awal hingga akhir acara. Di balik kesibukannya, ia masih saja merasa kesepian.
KAMU SEDANG MEMBACA
A Stolen Heart (21+) - The 'A' Series No. 3
RomanceWARNING 21++ !! (Cerita ini mengandung unsur adegan dewasa, kekerasan, dan kata-kata yang tidak diperuntukkan untuk anak di bawah umur. Harap kebijakannya dalam membaca.) ***** Sasha tak pernah ingin menjalin hubungan dengan pria. Ia tegar dan mandi...