Ia menikmati kelapa muda yang tersaji di hadapannya. Kesegarannya yang bercampur dengan dinginnya batu es, terasa begitu nikmat dan menghapus dahaganya dalam seketika. Angin pantai berembus lembut, menyentuh rambutnya yang tergerai indah. Sinar matahari mulai terasa sedikit bersahabat. Deru ombak dan kicauan burung pun terdengar bagaikan musik yang mengalun lembut menenangkan jiwanya yang sepi.
Ia duduk sendirian di salah satu meja yang langsung menghadap ke pantai. Pandangannya lurus menatap hamparan birunya laut. Suasana pantai cukup sepi, begitu juga dengan kondisi bar. Tampak beberapa orang sedang asyik menikmati pemandangan laut di kursi pantai, sepasang kekasih berjalan-jalan di bibir pantai sambil bergandengan tangan, dan beberapa anak kecil yang tertawa riang menikmati hangatnya air laut menyentuh kaki kecil mereka. Mereka semua tampak bahagia, tetapi tidak dengan Sasha.
Perasaan Sasha tidak tenang saat ini. Ia memikirkan dirinya yang masih sendiri di usia yang sudah kepala tiga. Pernikahan kedua sahabatnya, Desi dan Maira, membuat Sasha semakin menyadari bahwa ia kesepian. Ditambah dengan kehadiran buah hati di tengah keluarga kecil kedua sahabatnya, seakan menegaskan bahwa ia adalah wanita lajang yang merana, menyedihkan, dan hampa. Sasha mengembuskan napas frustrasi sambil mengaduk-aduk air kelapa yang berada di dalam batok kelapa.
"Sendirian?"
Sasha menoleh dan mendapati seorang pria yang sudah duduk di sampingnya tanpa permisi. Ia melemparkan tatapan kesal dan mengerutkan kening, berusaha menunjukkan betapa terusik dirinya.
"Boleh aku duduk di sini?" tanya pria itu santai sambil meletakkan sebuah kamera di meja kayu. Sasha tidak menjawab pertanyaan pria itu.
Aneh. Sudah duduk, baru permisi. Menyebalkan! gerutu Sasha. Ia mencoba tidak peduli dan kembali menatap hamparan laut, namun pria di sebelahnya tampak sibuk dengan kamera. Angin yang bertiup lembut membawa aroma wangi menenangkan yang berasal dari pria itu, memenuhi indra penciuman Sasha.
'Klik'. Terdengar suara kamera dan Sasha langsung menoleh. Lensa kamera berada tepat di depan wajahnya, membuat Sasha terkejut bukan main.
"Apa yang kamu lakukan?" tanya Sasha kesal sambil menepis lensa kamera itu menjauh dari wajahnya.
"Oh, I'm so sorry. I can't handle it," jawab pria itu meminta maaf, "aku selalu seperti ini saat bertemu dengan sebuah objek yang menarik."
"Objek? Kamu menganggapku benda?" ulang Sasha ketus dengan nada sedikit tinggi.
"Maafkan aku. Wajahmu sangat menarik untuk diabadikan. Apa aku boleh mengambil beberapa fotomu?" tanya pria itu diiringi senyum kecil. Sasha tidak mengerti dengan tata krama pria itu, ia benar-benar tidak menyukainya.
"Kamu sudah duduk tanpa izin terlebih dahulu, sekarang kamu tanya apa boleh memfotoku setelah mengambilnya? Kamu gila atau memang tidak punya sopan santun?" tanya Sasha sinis seraya mengerutkan kening, bingung dengan sikap pria itu.
"Maafkan kelancanganku. Kalau kamu tidak suka, aku akan menghapusnya," ucap pria itu meminta maaf dengan raut bersalah.
"Hah, sudahlah!" balas Sasha kesal, lalu beranjak dari kursi dan mengambil ponsel yang ia letakkan di meja.
"Kamu mau ke mana?" tanya pria itu cepat.
"Bukan urusanmu!" jawab Sasha ketus sambil melangkah menjauh.
"Setidaknya boleh aku tahu siapa namamu?" tanya pria itu lagi. Sasha segera berbalik dan menatap pria itu dengan tatapan heran. Ia menimbang-nimbang dan berpikir sejenak.
"Sasha," jawabnya singkat sebelum kembali melangkah.
"Namaku Ted," ucap pria itu sedikit berteriak, tetapi Sasha tidak peduli dan terus melangkah menjauh. Debur ombak semakin lama terdengar semakin jauh. Sasha berjalan menuju hotel melalui jalan setapak yang diapit oleh barisan bunga indah di kanan dan kiri. Ia melihat jam tangannya yang menunjukkan pukul 16.00.
KAMU SEDANG MEMBACA
A Stolen Heart (21+) - The 'A' Series No. 3
RomanceWARNING 21++ !! (Cerita ini mengandung unsur adegan dewasa, kekerasan, dan kata-kata yang tidak diperuntukkan untuk anak di bawah umur. Harap kebijakannya dalam membaca.) ***** Sasha tak pernah ingin menjalin hubungan dengan pria. Ia tegar dan mandi...