S2 || The karma

1K 68 0
                                    


***

Cahaya rembulan tanpa bintang-bintang menghiasi malam yang dingin itu. Desiran angin malam sedari tadi nampaknya seperti berusaha menyadarkan seseorang yang melamun di balkon kamarnya.

Berdiri kaku sembari melamun dengan sebuah cincin berwarna silver bertabur glitter berwarna senada di atas telapak tangannya, nampak indah kala terkena pantulan sinar rembulan.

Andai kehidupannya seindah cincin ditangannya itu.

“Ternyata, bahkan seorang anak pembunuh pun jika lama bergaul dengan orang baik, tidak semuanya endingnya bisa berubah baik seperti kisah sinetron. Semakin ia bergaul dengan orang baik, ternyata semakin timbul hasrat untuk melakukan hal yang sama seperti apa yang dilakukan oleh orangtuanya. Cih. Benar-benar definisi buah jatuh tak jauh dari pohonnya.” gumam seseorang itu  kala tersadar dari lamunannya.

Tak berselang lama kemudian, ia pun menyimpan cincin ditangannya kedalam saku jas putih yang dikenakannya.

“Ericka Aileen, dulu lo membodohi semua orang dengan cinta. Tanpa sadar kalau salah satunya lebih pintar dan telah lama membodohi lo juga. Kita lihat siapa pemenangnya, nanti.”

***

“Dokter Kana, bagaimana dengan bukunya? Apa Nona Ericka menerimanya?” tanya Dokter Aydin pada Dokter Kana yang nampaknya baru menyelesaikan tugasnya.

“Terimakasih, Dokter Aydin. Berkat anda, saya dapat menyelesaikan tugas saya dengan lancar. Ini kali pertamanya Nona mau menuruti saya. Ini kali pertamanya Nona tidak memberontak pada saya. Meskipun beliau masih terlalu menutup diri, setidaknya saya dapat mengumpulkan bukti laporan untuk pemeriksaan kali ini. Oh iya, terimakasih juga untuk bukunya. Nampaknya fokusnya langsung teralihkan. Itu lebih baik daripada hanya berdiam diri seraya melamun,” ungkap Dokter Kana menggebu-gebu hingga membuat Dokter Aydin yang mendengarnya pun terkekeh kecil seraya menganggukkan kepalanya.

“Itu hanya buku novel biasa. Akhir-akhir ini saya tahu kalau Nona juga suka buku novel. Saran saya, kedepannya Anda bisa mengakrabkan diri dan coba berikan buku-buku yang yang akan mengalihkan perhatiannya.”

“Baik, Dokter. Terimakasih, kalau begitu saya izin pamit untuk menyelesaikan laporan di pusat.” pamit Dokter Kana dan sepeninggalan wanita yang mendekati usia penghujung kepala dua itu, senyum miring menghiasi wajah Dokter Aydin. Nampak mengerikan dengan sorot mata yang tak biasa.

“Ya, itu hanya buku novel biasa. Hahaha.”

***

Di sisi lain, ada Ericka yang mulai gelisah dengan sebuah buku ditangannya. Beberapa kali ia mengernyit pertanda heran dan kebingungan, beberapa kali pula, jantungnya berdetak kencang kala mengetahui banyaknya fakta yang tersaji dalam kata demi kata disana.

Persis.

Bagaimana bisa se-persis ini?

Sekarang apa lagi? Kali ini siapa lagi yang berniat mempermainkan alur kehidupannya?

Sialan.

“Oh, jadi semua ini karma bagi gue dan keluarga gue di masa lalu? Tapi kenapa rasanya masih banyak kejanggalan, ya? Dulu gue bahkan nggak tahu kalau keluarga si cupu itu dibuat hancur karena Mama sama Papa.  Lagi pula itu bukan salah gue. Kalaupun mereka bermain kotor, yang kotor tangan mereka. Bukan gue. Tapi kenapa dunia seakan-akan memojokkan gue? Dan tentang kasus kecelakaan itu, bukan gue yang jadi sopirnya. Mobil itu juga bukan punya gue. Ashana yang takut bus juga bukan salah gue. Salah dia yang penakut dan nggak mau sembuh... tapi kenapa, kenapa gue yang disalahkan?!” pekiknya penuh emosi seraya merobek kasar buku ditangannya.

Ericka yakin banyak hal yang tak beres disini. Ia bahkan merasa janggal dengan tubuhnya sendiri. Setelah bertahun-tahun yang katanya ia mengidap halusinasi dan sejenisnya, tapi kenapa baru kali ini pikirannya bisa diajak kompromi? Bahkan dari mana semua ingatan di masa lalu yang padahal sebelumnya ia tak mengingatnya sama sekali?

“Dari awal semua ini terasa tak masuk akal. Jadi sudah jelas kalau tubuh ini semakin tak beres karena apa...” gumamnya seraya menatap beberapa bungkus obat baru dan botol kapsul baru yang tersaji di atas nakas. Ericka pun menyadari bahwa beberapa hari belakangan, ia malas dan tak mengonsumsi obat-obatan itu.

***

“Berapa persentase keberhasilan rencana sejauh ini?” tanya seseorang itu pada sambungan telepon yang dilakukannya dengan Dokter Kana.

“Sudah 90%, Tuan. Sisanya tinggal rencana terakhir.”

“Bagus. Nanti ku beritahu waktu yang tepat agar kita semua bergerak sesuai tugas masing-masing. Selama ini kita terlalu santai. Saya tak sabar ingin mempercepat ini semua.” kata seseorang tadi.

“Baik, Tuan. Kalau begitu, saya harus kembali ke Mansion untuk memastikan Nona bodoh itu mengonsumsi obat-obatannya.”

“Hahaha, baiklah. Seperti biasa, ya.”

PIP!

Dan sambungan dimatikan.

“Kasihan, Ericka pasti sedang mengamuk sekarang. Karena tidak terima dengan bukti fakta dari buku yang kau buat, Nav.” kata seseorang tadi pada seorang yang lain dengan sebutan 'Nav' tadi.

Seseorang dengan sebutan 'Nav' itu pun terkekeh geli mendengarnya. “Easy peasy, apa sih, yang tidak bisa dilakukan oleh seorang Ansel Arnav Pramudya?” angkuhnya.

“Tapi membuat alur kocak yang didalamnya kita bertiga adalah saudara itu lucu, Nav.” sambung Aydin yang baru bersuara setelah menjadi pendengar yang baik sedari tadi.

“Why not? Daripada lo berdua jadi suami gue, kan itu yang lebih lucu. Yakali, anjir!”

“Bajingan!” umpat Aydin, jijik.

“Enteng banget itu mulut, gaada sopan-sopan nya sama Papa dan Pamanmu sendiri!” sungut seseorang yang tadinya melakukan sambungan telepon dengan Dokter Kana.

“Lagian lo terlalu muda untuk jadi Papa gue, Ben. Apalagi si Aydin. Jadi paman apaan? Jenggot sama kumis aja nggak ada!”

“Woy, bajingan kecil, yang sopan sama Papamu sendiri, anjir!” sentak Aydin yang mulai jengah dengan situasi seperti ini.

“Udah-udah, nggak usah ribut. Mending kita hubungi pasukan untuk bersiap-siap di tempatnya masing-masing. Besok rencana terakhir akan dilakukan.” final seseorang yang disebut-sebut sebagai Papa tadi, yang tak lain adalah Benzo Nathan Pramudya.

Hayo, bagaimana bisa keduanya jadi Ayah dan Anak? Mudah saja. Karena di kehidupan yang sebenarnya, Ansel memang anak biologis dari Benzo. Jika di dalam halusinasi Ericka, Benzo itu perjaka tua, maka yang terjadi sebenarnya, Benzo adalah seorang Duda/Papa muda anak satu.

Benzo kini berusia 35 tahun, tapi malah nampak seperti Pria muda berusia 25 tahun. Sementara Arnav berusia 18 tahun. Istri Benzo telah berpulang sejak 8 tahun lalu, bersamaan dengan keduanya yang mulai mengenal Aydin.

“Demi Papa yang masih betah jadi Duda, padahal banyak wanita cantik contohnya kayak Dokter Kana, Papa serius rencana terakhirnya itu besok?!” heboh Arnav dengan sedikit gaya yang di lebay-lebay kan. Membuat Benzo seketika kesal mendengarnya.

“Jadi, maunya kapan? Sekarang?”

“Weh, slow, Bro. Kasih napas dulu itu keluarga bajingan. Apa nggak langsung jantungan kalau dikasih hadiah sekarang juga?”

***

𝐄𝐫𝐢𝐜𝐤𝐚'𝐬 𝐒𝐞𝐜𝐨𝐧𝐝 𝐋𝐢𝐟𝐞: 𝐓𝐫𝐚𝐧𝐬𝐦𝐢𝐠𝐫𝐚𝐭𝐢𝐨𝐧✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang