bab 15

8 2 0
                                    

Harlan

Malam Minggu ini gue putuskan untuk meng-upload video baru, lagu berjudul [sweet: cigarattes after sex]

Beberapa jam yang lalu, gue udah mulai memetik gitar dan bersenandung dengan hati yang begitu senang. Bayangan wajah cantik dan manisnya selalu muncul setiap gue mulai menyanyikan lirik demi lirik. Senyumannya yang tak pernah pudar, wajah kesalnya, dan mulut yang suka mencibik kesal.

"Dor, dor, kalo kata Lo nih? Gue cocok ga sama cewe yang kemarin? Inget kan? Cewe yang ngambil si Nemo itu, besti Lo." Dori yang sedang mendusal, mengangguk angguk seperti paham dengan ucapan gue.

"Ah Lo mah emang pinter banget, cocok kan? Mau gue pacarin soalnya, tapi gue ga berani dor."

"Akhh! Kok Lo malah gigit gue dor? Oh Lo ga mau punya babu yang penakut gini ya? Iya deh iya, nanti gue beraniin. Mau jadi gentleman gue!"

"Mau sampe kapan kamu ngomong sama dordor?" lagi lagi ayah sudah berada diambang pintu, sambil bersedekap dada.

"Dori yah DORI. BUKAN DORDOR!"

"Sama aja lah, dor dor, sama dori, udah ayo makan. Lama lama makin aneh kamu, kalo ga ngomong sama motor ya sama kucing, besok apa lagi? Tembok?"

"Bisa jadi si yah, dari pada ngomong sama ayah, diledek terus, mending ngomong dori sama jake." Gue mulai bangkit, melangkahkan kaki keluar, mengikuti ayah yang pergi dengan gelengan dikepalanya.

"Anak kamu udah makin parah aja Rin. Ngomong terus sama kucing," adu ayah pada ibu.

"Iya gapapa, kemajuan, dari pada ngomong sama pohon." Astaga, ibu masih inget inget aja kejadian ini heran. "Ibu malah seneng, kamu bisa terbuka lagi sama benda benda mati, Jake pasti sedih itu, ga diajak ngobrol sama kamu, besok Senin sekolah bawa gih si Jake."

"Niatnya si emang Senin mau pake si Jake, niatnya. Cape ngegoes terus, sekali kali mu pamerin si Jake."

"Pamerin ayah aja, keren nih."

"Pede amat."

"Loh, kamu ganteng gini juga keturunan dari ayah, har!" Ayah malah sengaja membuat pose pose keren yang menurut gue itu alay.

"Ga salah juga si." Iya produk bapak Hendra dan ibu Rinjani emang ga kaleng kaleng.

"Udah makan dulu, makan yang banyak ya, biar cepet gede," ucap ibu, orang gue udah gede gini, dikira gue masih anak TK kali ya.

"Udah mau lulus, udah gede ini Bu," jawab gue, sambil menyendokan makanan ke dalam mulut.

"Iya iya yang mau lulus, orang masih lama juga," timpal ayah.

"Oh iya gimana hubungan kamu sama pacar kamu itu?" tanya ibu penasaran.

"Loh udah jadi pacar aja? Emang ada yang mau har?" Ini lagi si bapa bapa, ngeledek lagi

"Belum jadi Bu, masih pendekatan," jawab gue.

"Pendekatan terus, diambil orang nangis nanti." Peringat ayah. "Jadi laki itu harus serius, jangan mulur mulur waktu, namanya perempuan juga butuh kepastian." Iya bener yah, perempuan emang butuh kepastian, tapi semua juga butuh waktu, waktu buat yakinin kalau cintanya itu terbalaskan.

"Aku masih butuh waktu yah, lagian nih ya, kita baru kenal. Tapi kemarin aku udah ketemu sama orang tuanya si pas ngajak jalan."

"Oh ternyata jalur orang dalam Rin, mau nyogok orang tuanya kalo ditolak."

"Enak aja, diterimanya si sebenernya udah jelas, soalnya aku yang ditaksir duluan." Bersama orang yang mencintai kita itu lebih baik, dari pada bersama orang yang tidak mencintai kita. Karena itu gue butuh waktu, biar gue mencintai orang yang mencintai gue. Gue ga mau kerya akan merasakan dimana dia akan bersama orang yang ga cinta sama dia. Walau faktanya gue udah jatuh ke dalam cintanya.

SIAPA SANGKA? 15.30 DIKARA WAKTU [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang