25 🌻

8 4 1
                                    

Tidak terasa ujian semester ganjil akan dilaksanakan minggu ini. Tandanya Linn sudah menjadi murid Saphirea High School selama enam bulan. Linn benar-benar harus mendapatkan nilai bagus. Linn murni ingin mendapatkan nilai bagus, bukan karena tuntutan.

Linn berada di rumah Ralu untuk belajar bersama. Sebenarnya daripada belajar, Linn lebih sering mengeluh.

"Ini kok bisa jadi empat? Siapa sih yang buat soal!" keluh Linn sambil mengacak-acak rambutnya.

Ralu memojokkan dirinya, dia sudah lelah menjelaskan berulang kali materi itu pada Linn. Sudah hampir delapan kali Ralu menjelaskan materi itu.

"Aku benci matematika!" Mata Linn sudah berkaca-kaca sebab sudah berulang kali dia dijelaskan tentang materi itu tapi Linn masih belum saja paham.

"Udahlah, ganti materi yang lain," saran Ralu sambil menghela napas lelah.

Ralu menjelaskan kepada Linn dengan pelan karena Ralu tahu Linn itu kurang cepat untuk memahami dalam pelajaran matematika.

"Oh! Terus kenapa ini jadi sepuluh?" tanya Linn dengan bingung.

"Ini," ucap Ralu dengan nada ditekan dan menunjuk pada suatu rumus yang ada di bukunya.

"Oh, gak ngelihat itu," ucap Linn sambil menggaruk tengkuknya yang tidak gatal sambil menunjukkan senyum tanpa rasa bersalahnya.

"Kalau mata pelajaran seni sama bahasa aja langsung paham." Ralu menutar bola matanya dengan malas.

Linn hanya tertawa kecil sebagai jawaban. Linn tidak menyukai mata pelajaran yang berhubungan dengan berhitung.

Hari senin, tepatnya besok ujian akan dimulai. Kabar buruknya mata pelajaran pertama saat ujian adalah matematika. Kabar baiknya untuk hari ini Linn hanya perlu mempelajari materi matematika untuk besok.

Keesokan paginya, Linn sudah bersiap untuk ujian semester satu ini. Sesampainya di dalam kelas bersama Ralu, dia duduk di kursi yang sudah ditandai dengan nomor absennya.

Linn rasanya ingin mempercepat waktu sekarang. Pandangannya jatuh pada bunga mawar merah yang berada di atas mejanya, dengan sebuah catatan yang tergulung rapi di tangkai bunga mawar itu.

Semangat!

Linn tersenyum dan tertawa kecil setelah membaca tulisan itu, pipi Linn terlihat sedikit memerah.

Semangat Linn, batin Linn memberi semangat pada dirinya sendiri.

Beberapa menit kemudian, seorang guru datang sebagai pengawas ujian. Kelas yang tadinya ramai berubah menjadi hening.

Sebuah kertas berisi lima puluh soal matematika sudah berada di atas meja Linn. Linn segera mengerjakan soal-soal itu.

Para siswa dan siswi menunjukkan raut wajah yang berbeda-beda. Mulai dari siswa dengan raut wajah datar dan biasa saja seperti Ralu. Lalu ada juga yang menunjukkan wajah berpikir keras. Hingga siswa dengan raut wajah panik seperti Linn.

Suara detak jarum jam yang biasanya tak terdengar, sekarang terdengar dengan jelas di telinga Linn. Waktu demi waktu telah berlalu, hanya tersisa sepuluh menit untuk menyelesaikan soal-soal itu.

Kabar baiknya hanya tersisa lima soal yang belum Linn jawab. Kabar buruknya, Linn benar-benar tidak tahu jawaban soal-soal itu.

Seperti biasanya dengan kekuatan instingnya, Linn menjawab soal-soal itu dengan asal-asalan.

Yang penting selesai, batin Linn dengan bangga.

Linn menaruh pulpen yang dia gunakan di atas meja, tepatnya di samping kertas ujiannya. Secara bersamaan bel tanda ujian berakhir telah berbunyi.

Para siswa-siswi mengumpulkan kertas ujian mereka bersamaan dengan kertas jawaban ujian mereka secara urut melalui nomor absen.

Malam hari dengan cuaca mendung, sang rembulan tak bisa menunjukkan dirinya. Seorang perempuan tengah mengacak-acak kamarnya. Dia memegang gelas kaca berisi air di tangan kanannya dengan kuat. Seolah sesuatu tengah meluap di dalam dadanya.

Dia melempar gelas di tangannya dengan kasar, suara gelas pecah itu terdengar nyaring. Tidak ada yang tau apakah setelah perempuan itu meluapkan emosinya akan ada benda yang masih utuh.

Pintu kamar yang hanya dia tutup tanpa mengunci pintu itu, sekarang terbuka dengan kasar karena seseorang. Terlihat seorang perempuan datang mendekat ke arahnya dengan wajah yang menunjukkan bahwa orang itu tengah kesal.

"Gausah rame bisa gak?! Yang capek bukan kamu doang!" teriak perempuan yang baru saja datang ke dalam kamar itu.

Perempuan pemilik kamar hanya diam sambil memutar bola mata dengan malas. Dia melangkah mendekati kasurnya dan duduk di kasur empuk miliknya itu.

"Kak, kita suka orang yang sama kan? Kakak tau kalau orang yang kita sukai lagi suka sama orang lain?" ucap gadis itu sambil memainkan rambutnya.

"Maksudmu? Jangan bercanda Shie!" Perempuan itu sedikit tertarik dengan perbincangan ini.

"Linn, Linn Amaretha adalah gadis yang kak Noe suka," ucap Shie dengan tatapan serius.

"Tunggu, kurasa aku mengenalnya," ucap perempuan itu mengingat-ingat.

"Kan kakak satu sekolah de-" ucapan Shie terhenti karena perempuan itu menyela ucapannya.

"Rambut biru muda, cewek kelas sepuluh, cewek yang pernah deket sama kamu?!" tebak perempuan itu dengan cepat.

Shie mengangguk-anggukkan kepalanya sebagai jawaban. Perempuan di depannya menunjukkan raut tak percaya pada ucapan Shie.

"Cewek itu berbeda dengan kita, dia penyihir, aneh!" ucap Shie pada perempuan yang dia panggil kakak itu.

"Hah? Ini bukan dunia sihir Shie," bantah perempuan itu.

"Tapi itu nyatanya, dia penyihir aneh yang suka mengutuk orang! Dia yang mengutuk kakak menjadi perempuan yang kak Noe tidak sukai!" jelas Shie.

Perempuan itu mengernyitkan dahi tanda tak percaya.

"Kamu punya bukti?" tanya perempuan itu dengan nada tak percaya.

Shie berpikir sejenak, sebenernya dia tidak tahu cerita yang akan dia ceritakan termasuk bukti atau tidak. Shie tidak peduli dengan itu dan menceritakan semua yang terjadi saat dia kelas tujuh hingga kelas sembilan.

Perempuan di depan Shie menunjukkan raut tidak percaya setelah mendengar cerita Shie. Otaknya berusaha mencerna apa yang baru saja dia dengar dari mulut Shie.

"Beneran? Kamu beneran gak bohong?"

"Terserah deh mau percaya apa nggak," ucap Shie dengan lelah.

"Dengerin rencanaku dulu, jadi...." Shie menjelaskan semua rencananya pada kakak perempuannya itu.

"Kalau ketahuan gimana?" tanya perempuan itu dengan cepat.

"Eh sadar diri, kakak tuh punya banyak babu di sekolah," jawab Shie yang membuat kakaknya itu terdiam sejenak lalu mengangguk-anggukkan kepalanya.

Angin berhembus kencang, jendela kamar Shie. Jendela yang masih terbuka itu membuat suhu di dalam kamar menjadi dingin. Shie yang merasa kedinginan menutup jendela kamarnya dengan langkah malas.

"Buat dia menyesal." Sebuah bisikan terdengar di telinga Shie saat menutup jendela itu.

Jangan-jangan hantu lagi, batin Shie menebak-nebak, membuat Shie merasa merinding.

Part ini gak penting, tapi penting, tapi ga penting. Yang penting up dah(T^T)

EDELSTENEN Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang