Eps. 12

829 70 18
                                    

Empat jam sebelumnya.

"Kau sudah melakukan apa yang aku suruh, Sobat?" Jabieb dengan sedikit sok menatap datar lawan bicaranya.

Lelaki tua Tionghoa dengan badan tinggi kurus berdiri dihadapannya. Rambutnya beruban, dengan mata sipit—sewajarnya—dibalik kacamata frame tipis. Hidungnya kecil pesek seperti tomat muda. Mengangguk dengan muka yang pucat pasi.

"S–Sudah, tuan. Saya sudah menyuruh mereka berkumpul," jawabnya sedikit gelagapan dengan logat China.

Jabieb mengangguk. "Bagus!" Menepuk pundaknya, menoleh ke Bos Muda, "Sudah, Bos. Mereka sudah berkumpul."

Marsha mengangguk. Menoleh ke Pria tua Tionghoa, mengamatinya sekilas.

Ditilik dari bentuk wajahnya, sepertinya umurnya tidak lebih dari kepala lima. Wajahnya penuh guratan umur, keriput, tidak sekencang milik Marsha atau pun Jabieb sekalipun. Matanya yang sipit dengan perpaduan wajah yang sedikit tirus membuatnya lebih cocok disebut Juragan Toko Bangunan dari pada pengelola apartement. Marsha tersenyum.

"Anda tidak perlu takut, Koh, pintu anda tidak akan digedor aparat perut buncit esok-esok hari. Anda telah melakukan apa yang memang seharusnya anda lakukan, jadi buat apa Kokoh takut?"

Pria tua Tionghoa itu mengangkat kepalanya, menatap Marsha lamat-lamat. Menoleh ke Jabieb.

"Dia siapa lagi?" bisiknya.

PLAK! Jabieb memukul pelan kepala Pria Tionghoa, merangkulnya, "Dasar bodoh." Pria tua Tianghoa mengaduh pelan, "Dia Bosku, tahu. Dialah yang menyuruhku melakukan ini semua, dan kau malah berbicara seperti itu?" Jabieb pura-pura menghela napas, "Hufft... maaf, sobat, sepertinya untuk kali ini aku tidak bisa menjamin hidupmu."

Pria tua Tionghoa melotot. Dengan cepat melepaskan rangkulan tangan Jabieb, melupakan rasa sakit dikepala, bersimpuh dilantai. Marsha melotot kaget, Jabieb terpingkal.

"Saya minta maaf, Nyonya. Saya tidak tahu, mohon ampun." Pria tua Tianghoa itu memohon, berusaha meraih kaki Marsha.

"Eh!? Anda tidak perlu melakukan ini, Koh. Ini tidak sopan, tidak sepantasnya Kokoh melakukan ini. Berdirilah." Marsha mundur selangkah.

"Tidak, Nyonya. Saya harus melakukan ini, kalau tidak Nyonya pasti akan melaporkan saya. Saya tidak mau dipenjara, Nyonya. Keluarga saya masih membutuhkan saya." Pria tua Tianghoa masih memohon, mukanya basah berkeringat, Jabieb semakin terpingkal.

Marsha menatap tajam Jabieb.

"Jangan tertawa, Jabieb. Dia lebih tua darimu, kamu seharusnya bersikap lebih sopan. Kamu harusnya tahu itu," tegur Marsha tegas.

Jabieb langsung mingkem, berhenti memegang perut, lantas menaruhnya dibelakang badan.

"Maaf, Bos."

Marsha menggeleng pelan, tidak habis pikir dengan sekretaris sekaligus asistennya itu. Beralih kepada Pria tua Tianghoa.

"Koh, sudahlah. Saya tidak akan melaporkan Anda. Buat apa? Toh anda telah menjual apartement ini untuk saya, bahkan sampai berbaik hati memberikannya secara percuma. Berpikirlah... ." Marsha mundur selangkah lagi. Kakinya masih berusaha digapai oleh Pria tua Tionghoa, "Untuk apa lagi saya melaporkan anda jika semua telah anda berikan?"

Pria tua Tionghoa mendongak, menatap Marsha dalam posisi bersimpuh.

"Tapi, Nyonya—"

"Jangan membuat saya berubah pikiran, Koh. Berdirilah, apa susahnya melakukan itu." Marsha menyela cepat, tegas.

Pria tua Tianghoa tergopoh-gopoh beranjak berdiri, memperbaiki posisi kacamatanya yang melorot, lantas menundukan kepala lagi. Jabieb menahan tawanya, lagi.

FreyanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang