Aku, Elena Sava, berdiri di geladak kapal yang terombang-ambing oleh gelombang samudra, menatap lautan luas yang terbentang tanpa batas. Angin sepoi-sepoi laut menyapu rambut silverku yang terurai. Kapal putih di bawah kakiku terasa sedikit bergoyang di atas ombak yang bergulung-gulung. Kapal ini tampaknya menuju daratan misterius yang terpampang jelas di depan sana—tinggal menunggu waktu sampai berlabuh. Aku merenggangkan otot-ototku demi meredakan sedikit kebingungan yang melanda pikiran.
“Apa yang terjadi? Kapal apa ini? Kenapa aku di sini?” gumamku sendiri dalam bisikan. Dua hari yang lalu, aku tiba-tiba terbangun di atas kapal asing ini. Saat aku mencoba mengingat kembali kejadian yang terjadi, ingatanku buram. Hal terakhir yang berhasil kuingat hanyalah lima bintang emas yang bersinar terang di depan mataku di suatu ruangan misterius. Apa itu pertanda? Atau hanya khayalan? Saat ini aku cuma bisa menduga-duga tanpa dasar yang jelas. Oh iya, sebagai tambahan, aku juga tak bisa mengingat seluruh kisah hidupku. Namaku yang kusebutkan di awal, berhasil kuketahui setelah melihat tag nama berwarna merah dengan tulisan putih terpasang di pakaian biruku. Namun sayangnya, tag nama itu hilang karena aku meletakkannya di sembarang tempat secara ceroboh.
Aku sebenarnya ingin bertanya kepada orang-orang disini. Hanya saja, saat aku melihat perilaku mereka sehari-hari, rasanya seperti tak bersahabat—ada yang sering berkelahi, berkata kasar, dan hal buruk lainnya. Mengingat diriku yang seorang wanita, kupikir akan lebih baik jika untuk saat ini aku diam sejenak daripada terjadi hal yang tak diinginkan.
Tiba-tiba, suara berat dan serak dari pengeras suara kapal memecah fokusku. ”Penumpang diharapkan untuk segera turun. Kita telah sampai di tempat tujuan. Perlu diingatkan bahwa jangan membawa barang bawaan saat turun. Kami akan melakukan pemeriksaan sebagai langkah antisipasi.” Suara itu memanggil para penumpang untuk menuruni kapal. Tak terasa waktu yang santai di atas kapal ini sudah berakhir, entah apa yang akan menungguku di daratan misterius ini. Aku tak perlu meninggalkan apapun karena dari awal aku tak memiliki apa-apa.
Tanpa ragu, aku mulai berjalan ke arah pintu keluar kapal. Para penumpang lain juga ikut turun. Saat berjalan keluar, kami diatur oleh pihak kapal agar tidak berdesak-desakkan. Tidak ada seorang pun yang membawa barang atau perlengkapan sejauh yang kulihat.
Selama berada di kapal, aku memperhatikan beberapa hal. Pertama, para penumpang kebanyakan laki-laki meskipun perempuan juga ada di sana. Kedua, tak peduli laki-laki atau perempuan, mereka memliki wajah yang sinis—mungkin hanya pendapatku saja—dan hanya sedikit dari mereka yang mau merespon ucapanku. Para penjaga dan kru kapal juga tak kalah dinginnya. Saat aku terjatuh—lantainya licin—mereka tak menghiraukanku dan hanya memandang dengan wajah yang tak sedikit pun ada rasa empatinya. Maksudku, ayolah, orang yang normal dan punya hati pasti akan membantu gadis manis sepertiku. Terakhir, ini hanya pendapat pribadiku saja, tapi makanan di kapal ini benar-benar membuatku ingin mual. Jika keluar dari kapal ini dapat mencegahku memakan makanan yang sama lagi, sudah pasti akan kulakukan dengan senang hati.
Saat ini aku sudah turun dari kapal setelah berbaris untuk waktu yang tak sebentar. Aku bergegas menjejakkan kaki ke pasir pantai yang bersih di depan mata. Saat itu juga, aku melepas sebentar sepatu berwarna kecokelatan yang kupakai. Permukaan pasirnya cukup hangat dan terasa nyaman saat diinjak. Dibandingkan dengan lantai kapal yang keras, pasir di sini jelas lebih baik. Aku coba melihat sekeliling. Daratan ini terlihat membentang cukup besar. Tak jauh dari pantai, aku bisa melihat hutan yang lebat dengan pepohonan yang menjulang tinggi di sana.
Ketika aku sedang asyik mengamati sekitar, tiba-tiba, dari arah belakang, aku ditabrak oleh seseorang. Aku terjatuh ke pasir, terkejut dan kesakitan. Dengan cepat aku bangkit dan menoleh, menatap dengan marah orang yang menabrakku. Tampak seorang pria besar dan tinggi, dengan otot yang mencolok di bawah pakaian lusuhnya, berdiri di sana. Dia menatapku dengan tatapan sinis dan tersenyum miring.
“Maaf, Nona, aku tak sadar kau di sana," katanya dengan nada mengejek yang jelas.
Darahku mendidih. Aku menatap tajam matanya. “Lain kali lihat-lihat kalau jalan, ya!" balasku. Suaraku penuh dengan kemarahan yang aku tahan.
Pria itu hanya tertawa. “tenang saja, gadis kecil,” katanya sebelum berbalik dan melanjutkan langkahnya seolah-olah tak ada yang terjadi.
Aku memandang punggungnya yang menjauh dengan amarah. Tangan terkepal di sisi tubuhku. "Sial, awas saja kau," gumamku dalam hati. Aku mengusap pasir dari pakaianku dan berusaha untuk menenangkan diri. Rasanya aku ingin membalas perbuatannya, namun tentu saja tak bisa. Daripada meluapkan emosi tak keruan, lebih baik aku berjalan menelusuri pulau ini berhubung pihak kapal tak memberi perintah untuk melakukan apapun.
Salah satu hal yang menarik perhatianku adalah daratan ini sangatlah sejuk jika dibandingkan dengan kondisi kapal yang pengap. Angin yang berembus dari hutan mampu membuat tubuhku merinding. Terlepas dari keindahan daratan yang baru saja kudatangi, entah mengapa aku merasa ada hal buruk yang menanti diriku ke depannya. Seolah-olah angin yang tadi berembus berusaha memperingatkan tentang marabahaya yang takkan lama lagi datang menghampiriku, atau mungkin semua orang yang turun dari kapal ini. Awalnya, aku berharap semuanya akan baik-baik saja, sampai ketika…
KAMU SEDANG MEMBACA
Elena dan Daratan Misterius
FantasyElena terbangun di atas kapal misterius tanpa ingatan bagaimana dia bisa sampai di sana. Kapal tersebut membawanya ke sebuah pulau tak berpenghuni yang dipenuhi dengan bahaya dan misteri. Di sana, Elena harus menghadapi kekuatan-kekuatan supranatura...