Chapter 13: Pertarungan

13 6 7
                                    

Sudah lima menit berlalu sejak kami bermain kejar-kejaran, atau lebih tepat disebut permainan lari atau mati. Keempat monster yang mengejar kami sekarang merupakan jenis yang sama. Tubuhnya besar dan kekar dengan wujud singa. Bulu cokelat tebal menutupi sebagian besar tubuhnya. Monster ini memiliki rahang lebar, penuh dengan deretan gigi taring tajam yang siap mencabik mangsanya. Matanya berwarna merah menyala, seperti selalu mengintai mangsanya dari kejauhan. Cakar-cakarnya juga besar dan kuat, dengan kuku-kuku tajam yang mampu memotong pohon-pohon beserta dahan yang menghalangi jalannya.

Aku sudah tak kuat lagi berlari. Langkahku kian melambat seiring waktu. “Manda, kau tak apa?” tanya Lisa di belakangku yang perlahan mulai menyusul. Kami terus berlari tanpa arah. Bagi kami selama ada jalan yang bisa dilewati akan kami lewati. Hutan ini sungguh luas dan lebat. Semak-semak terus menghambat kami untuk bergerak. Sekarang monster singa itu sudah semakin dekat. Aku yang awalnya berada di posisi paling depan semakin melambat dan akhirnya tertinggal jauh dari teman-temanku. Untuk David si kurang ajar itu, dia tak ikut berlari bersama kami karena lebih dahulu meninggalkan tempat sebelum monster itu datang.

Seluruh tubuh sudah memberikan sinyal untuk berhenti, tetapi langkahku terus berusaha maju. Tanpa kusadari, salah satu dari keempat monster itu mengayunkan cakarnya dari arah belakang. Serangan itu tepat mengenai punggungku, dan seketika, aku terlempar jauh dan menambrak pohon dengan keras. Kepalaku terbentur, membuatku menjerit kesakitan. Suaranya menggema ke seluruh penjuru. Darah segar mengalir deras baik dari punggung maupun kepala. Entah kenapa, sensasi ini rasanya sama seperti tadi malam saat bertemu wanita itu—tangan dan kaki mulai gemetar, pandangan perlahan kabur disertai tubuh yang semakin lemas. Dari kejauhan samar-samar terdengar suara Lisa yang memanggil namaku, serta langkah kaki para monster.

Singa itu kemudian mendekat, lalu menggigit pakaianku dan mengangkatku ke atas. Badanku terjuntai dengan wajah menghadap ke atas, darah yang mengalir dari kepala pun berjatuhan ke tanah. Aku bisa melihat kepala singa ini dari dekat. Selain itu, aroma darah dari mulutnya sangat kental. Dia pasti sudah banyak memangsa makhluk hidup lain. Dari sorot mata yang sayu, terlihat Lisa yang sedang ditahan oleh Rico dan Fritz dari kejauhan. Sepertinya dia sangat ingin pergi ke sini dan menyelamatkanku. Dari lubuk hatiku yang paling dalam, perasaan sedih, kesal, marah, dan benci bercampur menjadi satu. Namun anehnya, ekspresi yang keluar justru senyum kecil. Aku miris melihat kondisi yang sekarang terjadi. “Betapa menyedihkannya diriku ini,” pikirku. Setelah tubuhku diangkat, singa itu mulai berbalik arah dan tak jadi mengejar yang lain. Tampaknya aku akan jadi menu makan malam mereka. Singa besar itu berjalan pelan setelah berhasil menangkapku. Sungguh berbeda dengan saat mengejar tadi. Dia pasti merasa targetnya berhasil tertangkap dan tak perlu lagi berlari-lari.

Meskipun dalam kondisi seperti ini, keinginan untuk menyerah masih jauh dari pikiran. “Setidaknya satu ekor harus tumbang,” pikirku. Akhirnya aku mencoba untuk mengambil revolver dari saku, dan ternyata masih ada. 

“Untung saja barang ini tidak jatuh,” gumamku. Yes… pelurunya ada enam. Pemberitahuan bahwa revolver ini dapat mengisi ulang dirinya sendiri benar tampaknya. Bidikan diarahkan ke kepala singa yang membawaku. Aduh… kepalaku pusing, sulit sekali membidiknya! Ah… bodo amat, asalkan kena itu sudah bagus. Pelatuk senjata ditarik tanpa ragu dan suara tembakan langsung bergema di langit. Gigitan singa itu terlepas. Aku yang tanpa persiapan matang pun jatuh menghantam tanah dengan keras. Meskipun sakit, tapi lebih baik daripada dijadikan makanan. Aku coba memastikan bagian mana yang berhasil ditembak, dan ternyata hasilnya tak begitu buruk. Mata singa itu terluka akibat tembakan barusan. Matanya mengeluarkan darah. Dia meraung-raung kesakitan. Rekan-rekan dari singa itu tampaknya tak senang dengan apa yang kuperbuat barusan. Salah satu dari mereka langsung melayangkan kembali cakaran mautnya ke arahku. Aku mencoba bangkit namun badan masih terasa berat. Kuku tajam mengarah ke bagian kepala. Aku panik, namun tubuh ini tak bisa bereaksi. Tak sempat! Aku tak sempat menghindar…

Elena dan Daratan Misterius Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang