Jam di tanganku sudah menunjukkan pukul satu malam. Namun, sampai sekarang aku masih belum bisa tertidur karena masih teringat obrolan bersama David tadi. Perkataannya tentang mata-mata masih terus terngiang-ngiang dalam pikiranku.
Daripada hanya sekedar duduk di dalam gua yang penuh dengan orang tertidur lelap tanpa melakukan apa-apa, aku memutuskan untuk beranjak dari tempatku bersandar. Semua orang di sini tidur dalam keadaan duduk sambil bersandar di dinding gua yang dingin. Kami melakukannya karena permukaan di dalam gua tempat kami tinggal tak begitu bersih. Ditambah lagi tidak ada alas yang bisa kami gunakan untuk berbaring, tidak seperti saat berkemah.
Meskipun begitu, pada awalnya orang-orang tidur dengan posisi berbaring seperti pada umumnya. Namun karena adanya gangguan dari hewan-hewan kecil di sekitar, membuat sensasi tidur kami menjadi hancur berantakan sehingga kami lebih memilih untuk duduk sambil bersandar ketika tidur ketimbang merasakan pengalaman yang tak mengenakkan.
Saat beranjak bangun, dari arah kejauhan aku baru sadar ada sosok wanita aneh yang memperhatikanku. Dia berada di luar gua, dekat dengan pintu masuk. Seluruh tubuhnya gelap, persis seperti bayangan. Namun dia bukanlah bayangan. Dia berdiri tegak sambil melambaikan tangan dengan pelan, seolah-olah mengajakku untuk menemuinya. Wajahnya tak terlalu jelas dengan rambut panjang. Aku tahu dia wanita karena bentuk tubuhnya. Tapi aku sendiri masih tidak yakin. Aku pun mencoba untuk membangunkan salah satu orang yang tertidur.
"Kemari... Elena." Sosok itu mengeluarkan suara.
Aku terdiam mendengarnya.
Apa? Elena? Dia tahu darimana nama itu?
Niatku untuk membangunkan seseorang seketika batal. Entah kenapa, aku langsung berkeringat dingin saat menatapnya. Badanku mematung. Aura yang dipancarkan sangat jauh berbeda. Bahkan dibandingkan dengan si Ray itu, suara sosok wanita ini lebih, atau bahkan sangat mengintimidasi!
"Kemari... Elena," ucap wanita itu dengan ramah. Lagi, dia menyebutkan nama yang sama. Meskipun itu suara yang lembut, aku tetap saja sangat ketakutan. Rasanya aku ingin berteriak. Namun, entah kenapa suaraku tak mau keluar. Aku melihat ke sekeliling. Tak ada yang terbangun. Sepertinya tak ada yang menyadari atau mendengar suara itu.
"Kemari... Elena." Sosok itu mengulangi perkataannya.
Aku berjalan mundur, berniat melarikan diri dan masuk lebih jauh ke dalam gua. Mungkin saja dia akan pergi kalau aku melakukannya. Namun sayang, rencana cemerlang itu gagal. Aku hanya bisa mundur sejauh 30 cm, tak lebih tak kurang. Badanku rasanya seperti ditarik ke tanah.
Berat...
Badanku sangat berat! Aku tak bisa bergerak. Tekanan yang diciptakan membuatku kesulitan bernapas.
"Kemari... Elena," ucap wanita itu.
Apa boleh buat, sepertinya diriku tak punya pilihan lain. Mau tak mau aku harus menuruti perkataannya.
Saat niat untuk kabur kuurungkan, tekanan yang kuterima mendadak hilang—badanku jadi bisa digerakkan lagi. Aku menarik napas dalam-dalam. Dengan berat hati, aku berjalan pelan mendekati wanita itu, sambil memasang kuda-kuda bertahan. Sebenarnya aku juga tahu, jika dia mau membunuhku sekarang, sudah pasti aku akan mati. Instingku berkata demikian.
Aku melangkah dengan hati-hati. Itu kulakukan agar tidak menimbulkan suara yang dapat mengganggu orang-orang di sekitar. Entah apa yang terjadi jika aku sengaja membangunkan yang lain. Wanita itu terus menatap mataku dengan tatapan tajam. Mungkin ingin mengawasiku agar tak kabur. Jujur saja, saat ini aku sudah sekuat tenaga membendung air mata.
Aku akhirnya telah keluar dari gua. Dengan perasaan takut, aku pun bergerak mendekati wanita itu. Hawa dingin di luar gua membuat suasana menjadi semakin tegang. Ditambah dengan suara hening air laut, mungkin istilah 'tenang sebelum bencana' tepat untuk menggambarkan situasi yang terjadi saat ini.
"Kemari... Elena." Dia mengulangi kata yang sama berulang kali.
Setelah berjalan dengan sangat lambat dan penuh waspada, akhirnya aku berhasil berdiri tepat di depan sosok ini. Jarakku mungkin sekitar satu meter darinya. Tanganku gemetar. Kami berdua saling menatap mata satu sama lain. Tinggi aku dan wanita ini tak terlalu jauh, mungkin sama. Secara mengejutkan, perlahan-lahan aura hitam yang menyelimutinya hilang secara misterius—seperti dilahap sesuatu.
Jantungku berhenti sejenak ketika melihat langsung wujud aslinya. Wajahnya penuh luka memar disertai dengan sedikit darah. Meskipun begitu, dia adalah sosok wanita yang cantik. Warna rambutnya merah dengan kulit putih ditambah tato seperti kepala harimau di dahinya. Dia mengenakan gaun merah yang kotor, tetapi kemewahan pakaiannya masih terasa. Melihat perawakannya yang seperti ini, aku sedikit merasa kasihan dan ingin membantunya.
Setelah saling tatap cukup lama tanpa adanya interaksi, aku pun memberanikan diri memulai percakapan. "Maaf, apa Nona perlu bantuan?" ucapku dengan gugup.
KAMU SEDANG MEMBACA
Elena dan Daratan Misterius
FantasyElena terbangun di atas kapal misterius tanpa ingatan bagaimana dia bisa sampai di sana. Kapal tersebut membawanya ke sebuah pulau tak berpenghuni yang dipenuhi dengan bahaya dan misteri. Di sana, Elena harus menghadapi kekuatan-kekuatan supranatura...