Sudah 1 Minggu berlalu sejak peristiwa pria berjas itu berteleportasi secara tiba-tiba dan meledakkan orang di depannya. Kini semua penumpang kapal bekerja sama untuk bertahan hidup di pulau ini. Meskipun begitu, jejak trauma akibat kejadian kemarin masih bisa dirasakan. Banyak orang masih merenungkan nasib dan masa depan mereka sendiri sehingga tak mau membantu penumpang lainnya bahkan untuk sekedar mengumpulkan kayu bakar. Mereka lebih memilih untuk tinggal di dalam gua yang tak sengaja ditemukan 5 hari yang lalu di sekitar pantai. Sekarang gua itu menjadi tempat berlindung kami dari teriknya matahari maupun hujan.
Dasar pemalas! Kalian pikir dengan merenungkan nasib seperti itu bisa mengubah keadaan?
Begitulah isi hatiku saat sedang mengumpulkan kayu bakar sementara melihat sebagian dari mereka hanya bersantai-santai dengan dalih ‘trauma’ dan malah mendapatkan porsi makanan yang sama dengan aku dan orang-orang yang bekerja lainnya. Aku bahkan mendapatkan luka gores di tangan dan kaki saat mencoba memasuki hutan yang dipenuhi dengan ranting ranting tumbuhan yang tajam—kulitku yang mulus jadi rusak. Belum lagi berkat jam tangan yang tak bisa dilepas, tanganku jadi sakit.
Aku mengembuskan napas sebal. Meskipun aku kesal, tak ada yang bisa kulakukan untuk membuat mereka mau bekerja. Sekarang kami semua hanya bisa pasrah sambil menunggu syarat yang nanti diberikan Ray kepada kami. Kami saat ini dipimpin oleh seseorang bernama Edward. Dia memberikan komando seperti seorang profesional. Berdasarkan perintahnya, para pria menangkap ikan dan para wanita memetik buah-buahan untuk memenuhi makanan sehari-hari. Kami kadang juga berbagi tugas mengumpulkan kayu bakar, seperti yang kulakukan saat ini. Jika sedang santai, kami biasanya bermain kejar-kejaran dan lain sebagainya. Untuk orang-orang payah yang masih trauma, mereka hanya duduk merenung atau sebatas ikut makan jika lapar. Benar-benar tak berguna.
Kami saat ini juga kekurangan pakaian bersih. Oh iya, sebagai pengingat, pakaian yang dikenakan oleh kami pada hari ini persis sama seperti yang kami kenakan 1 minggu yang lalu. Baju biruku yang anggun bahkan sudah menjadi dekil akibat kotoran yang menempel.
Melihat tumbuhan dan hewan di pulau ini, sepertinya kami berada di wilayah tropis. Cuaca disini sangat panas, terutama di siang hari. Untungnya, banyak pohon rindang yang berdiri tegak disini. Kami sendiri masih belum terlalu jauh menjelajahi pulau ini. Jadi untuk masalah luas pulau, topografi, dan lain sebagainya kami belum terlalu paham.
“Banyak pikiran ya? Jangan terlalu memikirkan hal yang tak perlu, itu hanya akan membebanimu,” ucap seseorang dengan nada lembut di belakangku.
Aku menoleh sebentar. “Apanya yang tidak perlu? Kita datang ke sini 1 Minggu yang lalu tanpa adanya persiapan. Dan sekarang kita malah dipaksa untuk melakukan game survival ini tanpa adanya kepastian selamat.”
Orang yang mengajakku bicara saat ini adalah Lisa, ditemani oleh Rico disisinya. Kami bertiga berkenalan 6 hari yang lalu saat sedang memetik buah-buahan di dalam hutan. Lisa dan Rico, meskipun baru bertemu, sudah tampak seperti sahabat yang sudah lama bersama. Lisa dengan rambut kuning keemasan yang panjang terurai, dan Rico dengan rambut hitam pendek dengan bagian atas sedikit tebal.
“Daripada kalian berdiri seperti orang aneh, mending kalian bantu aku bawa kayu bakar ini deh.” ucapku sambil menyodorkan kayu untuk dibawa.
Lisa dan Rico mengangguk. Mereka mengambil kayu bakar yang sudah berbentuk kecil dan membawanya bersamaku menuju gua tempat kami tinggal.
Sambil berjalan, aku memperhatikan wajah Lisa. Wajahnya yang putih mulus itu tampak berseri-seri, seolah-olah tak ada yang membebani pikirannya. Seoptimis apa pun diriku, sangat sulit untuk menutupi wajah cemas ini. Aku harus selalu siaga akan bahaya yang bisa datang kapan saja.
“Lisa, aku selalu penasaran, apa kau tak takut dengan situasi yang kita alami sekarang?” Aku memulai percakapan.
Lisa merenung sejenak. “Takut ya… kalau kubilang aku tak takut sudah pasti itu bohong. Jujur, mungkin aku adalah orang yang pertama kali syok dan gemetar saat melihat insiden 1 Minggu yang lalu. Saking takutnya, bahkan sampai berjalan saja harus dibantu oleh Rico yang ada di belakangku saat itu.”
“Hahaha… tatapan Lisa waktu itu benar benar kosong. Aku sampai harus menggendong badannya yang kecil untuk sampai ke atas tebing tinggi itu lho, Manda,” canda Rico
Manda, itulah nama samaran yang kubuat di pulau ini. Memang agak jauh dari nama asliku yaitu ‘Elena Sava’, tapi itu jauh lebih baik daripada orang lain tahu namaku berasal dari tag nama yang terpasang di baju. Sebenarnya, aku juga bingung mengapa aku harus menyembunyikan nama asliku. Hanya saja, alam bawah sadarku menyuruh berbuat demikian.
“Aduh duh… Hei Lisa jangan injak kakiku.” Rico sepertinya membuat Lisa marah dengan menyebut dirinya kecil.
Lisa menatap Rico dengan tatapan ngeri. “Awas kau sebut kata itu lagi ya… Anyway, kembali ke topik bahasan awal, dulu aku kenal seorang kakek di kota tempatku tinggal. Dia selalu bermain denganku dan teman-teman sepantaranku. Orangnya sedikit aneh, tapi baik. Dia selalu mengucapkan satu nasihat setiap kali aku ataupun teman-temanku mendapat masalah. Nasihatnya mungkin cukup aneh, tapi itulah yang membuatku bangkit dan tetap tegar sampai saat ini. ‘Jika kau punya masalah dan bisa diselesaikan, untuk apa kau cemaskan? Jika kau punya masalah dan tak bisa diselesaikan, untuk apa kau cemaskan?’ begitulah kurang lebih nasihatnya. Tapi sayang, dia tiba-tiba menghilang secara misterius dan sampai sekarang tak ditemukan.”
Aku dan Rico diam, tak merespon apapun. Aku dan Rico saling tatap. Dari wajahnya, sudah pasti Rico bingung, sama sepertiku.
“Kalau kau gimana Nda? Kau juga kelihatannya biasa saja. Malah terlihat normal dibandingkan orang-orang yang lain.”
Aku menjawab seadanya. “Aku sebenarnya lumayan takut, tapi aku masih punya akal sehat dan takkan duduk merenung sepanjang hari tanpa melakukan apa-apa seperti seorang pengecut.” Lisa dan Rico tertawa mendengar komentar pedasku.
Kami pun lanjut beralih topik membahas makanan kesukaan masing-masing. Bagi Lisa, makanan yang paling dia sukai adalah yoghurt. Dia suka dengan rasanya dan ingin sekali belajar membuat yoghurt agar tak perlu repot-repot membeli.
“Kalau makanan favoritku sih mi instan.” Rico dengan santai berkata demikian. Aku tertawa kecil mendengar itu.
“Masa mi instan, kau tak punya uang ya,” ledek Lisa sambil berusaha menahan tawa.
“La-lah, memangnya ada yang salah?” tanya Rico heran. “Kalau Manda sendiri gimana?”
Aku diam sejenak memikirkan jawaban yang pas. Tak mungkin aku menjawab kepada mereka bahwa aku hilang ingatan dan hanya tahu namaku sendiri dari tag nama yang aku bahkan tak tahu apakah itu nama asliku atau bukan. “Mungkin kue stroberi,” ucapku asal-asalan. Meski aku tak mengingat apa pun tentang diriku sendiri, dalam hal pengetahuan umum, aku masih mengerti dengan baik.
Tak terasa, kami sudah berjalan cukup jauh dan sudah sampai di gua yang kami tuju. David dan pria yang lain segera bergegas menyambut kami dan langsung mengambil kayu bakar untuk digunakan karena waktu sudah mulai gelap. Tanpa pikir panjang, aku masuk ke dalam gua untuk bersandar di dindingnya dan istirahat sebentar.
Saat aku bersandar, aku teringat lagi nasihat yang tadi diceritakan Lisa. Aneh, rasanya aku pernah mendegar nasihat yang serupa dahulu. Tapi kapan dan siapa yang mengucapkan itu? Ingatanku masih samar-samar.
Ah, mungkin hanya perasaanku saja. Tidur lebih baik daripada memikirkan hal itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Elena dan Daratan Misterius
FantasiElena terbangun di atas kapal misterius tanpa ingatan bagaimana dia bisa sampai di sana. Kapal tersebut membawanya ke sebuah pulau tak berpenghuni yang dipenuhi dengan bahaya dan misteri. Di sana, Elena harus menghadapi kekuatan-kekuatan supranatura...