Halooo... apa kabar nih kalian
Masih semangat 'kan bacanya?Jangan lupa berikan feedback dengan memberikan vote dan komentar :)
Happy reading all
◇◇◇
Helaan napas yang begitu berat Embara embuskan berulang kali. Matanya yang tengah menatap langit-langit kamar dengan berbantalkan tangan, menerawang jauh entah ke mana. Sejuknya suhu malam itu tidak membuat Embara segera memejamkan mata.
Isi kepalanya dipenuhi oleh ucapan Aditama saat makan malam tadi. Dia sudah menduga, Papanya tidak akan setuju dengan perlombaan itu. Sudah berulang kali terjadi, dan ini akhirnya.
"Bara? Belum tidur?"
Embara tersentak kaget. Spontan dia langsung mengubah posisinya menjadi duduk. Dia tidak menyadari Utari yang membuka pintu kamarnya dan melihat dirinya sedari tadi. Sementara Utari menyengir lebar saat matanya bersisitap dengan mata sang Anak.
"Mama dari kapan di situ?" Tanyanya keheranan.
"Udah dari tadi. Lagi ngapain sih? Nggak baik ngelamun mulu. Mbah Asep lagi nggak ada di sini. Repot entar kalo kamu kemasukan," gurau Utari sambil berjalan mendekat ke arah Embara. Tubuhnya ia daratkan di pinggir kasur dengan tangan yang mengusap pelan surai rambut putranya. Tatapannya berubah sendu.
Dan semua itu tak lepas dari penglihatan Embara. Laki-laki itu mendongak lebih dekat, memutar sedikit lehernya ke samping. "Mama?"
"Maaf, Bara." Alis Embara menyatu. Kenapa Mamanya mengatakan kata itu padanya? "Kamu pasti pengen ikut lomba itu, kan? Maaf, Mama nggak bisa bujuk Ayah kamu," lanjut Utari dengan masih mengelus lembut kepala cowok berkaus hitam itu.
Saat di meja makan, saat suaminya mengatakan tidak mengizinkan, dan saat Embara mengiyakan dan tidak melawan apa yang Aditama katakan, di situ Utari melihat tatapan penuh harapan terpendam di sana. Utari tidak suka dengan situasi saat itu, tapi saat Aditama mulai menunjukkan ketegasannya, nyali Utari menciut. Walau hal itu sudah tidak jarang Utari dapatkan, karena ketegasan Aditama adalah pengontrol dirinya yang dulu masih kekanakan ketika usia pernikahan mereka masih terbilang muda. Namun, terkadang hal itu menjadi hal yang menyebalkan untuknya.
"Nggak pa-pa, Ma. Bara paham." Diulasnya senyum tipis untuk sang Mama. Memang untuk apa dipermasalahkan?
Lama terdiam setelah mendengar jawaban dari si Anak. Akhirnya Utari lantas menarik kedua sudut bibirnya, membalas senyum Embara. "Ya sudah, cepet tidur. Udah malam." Perintah dari Utari segera dituruti olehnya. Dia kembali merebahkan tubuhnya lalu memejamkan mata.
Senyuman Utari masih bertahan sampai kelopak mata itu terpejam. Setelahnya, dia membenarkan selimut yang terbentang tak benar. Menariknya hingga menutupi dada, dan terakhir, Utari membisikkan satu kalimat. Satu kalimat yang mengundang kedua bibir Embara melengkung indah di wajahnya.
"Mama sayang sama Bara."
◇◇◇
Suara ban yang bergesekkan dengan aspal terdengar dari sebuah motor yang dikendarai oleh laki-laki dengan seragam yang dikeluarkan. Kedua tangannya kemudian melepas helm full face, lalu menyugarkan rambutnya ke belakang.
Embara melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Syukurlah hari ini dia tidak telat. Ingin dia segera beranjak dari sana lalu masuk ke dalam gedung tempat ia menuntut ilmu, sebuah kendaraan scoppy lewat tepat di depannya. Hampir saja dia tertabrak. Kalau saja dia tidak segera mundur ke belakang, kakinya bisa jadi polisi tidur nanti.
KAMU SEDANG MEMBACA
ARCANUM: WHO'RE YOU?
Teen FictionDari Pertemuan pertama di tempat sampah, tempat perjanjian pertama di toilet wanita, dan selalu berakhir ribut setiap kali bertemu, seakan menjadi pertanda keras bahwa Embara Cakrawala memang tidak seharusnya dipertemukan oleh seorang gadis-yang ti...