Halooo... apa kabar nih kalian
Masih semangat kan bacanya?Jangan lupa berikan feedback dengan memberikan vote dan komentar :)
Happy reading all
◇◇◇
Sebuah sepeda motor ninja terlihat masuk ke dalam pekarangan rumah. Setelah memarkirkan motornya di garasi rumah, segera si pengendara itu turun dari atas motor sembari melepas helm full face nya. Embara menyugarkan rambutnya ke belakang, melepas helm nya itu membuat beberapa helai rambutnya jatuh ke depan dahinya.
Langit saat ini sudah berganti warna. Raut wajah Embara menjadi muram, sudah pasti dia akan dimarahi oleh ibunya karena pulang hingga malam hari begini.
"EMBARA? ITU KAMU? UDAH PULANG?"
Baru saja Embara mendaratkan satu langkah kakinya masuk ke dalam rumahnya, suara yang begitu menggelegar yang berasal dari dalam rumah menjadi hal yang menyambut kedatangannya. Embara menghela napas panjang, sudah terbiasa dengan sambutan seperti ini dari sang ibu.
"EMBARA? ITU KAMU BUKAN SIH?" Utari—Ibu Embara—nampak berjalan ke ruang tamu, Lantaran tidak ada jawaban dari Embara, alhasil Utari berjalan ke sana untuk memastikan kalau yang datang itu benar anaknya.
Melihat sang Putra yang hanya diam bergeming di depan pintu, lantas Utari melangkah mendekat. "Kamu ini, kalau Mama tanya itu jawab dong. Mama kira maling tadi yang masuk," omel Utari sambil berkacak pinggang.
Utari menatap Embara dari atas ke bawah, lalu berkacak pinggang. "Kenapa baru pulang sekarang? Ini sudah hampir malam, tahu! Kamu ini, bikin Mama khawatir."
Embara mencoba menjelaskan, "Maaf, Mama. Tadi jalanan macet, Bara gak maksud bikin Mama khawatir." Tatapan sayu dan lelah yang terpancar dari kedua mata sang Anak mampu tertangkap di indra netra Utari.
Utari menghela napas, lalu melangkah mendekati Embara. Ia menatap wajah anaknya itu dengan lembut. "Ya sudahlah. Yang penting kamu sudah pulang dengan selamat. Lain kali jangan sampai terlambat lagi, ya?"
Embara mengangguk patuh. "Sudah sana mandi. Habis itu makan. Mama tadi bikin sup lho. Perdana ini," heboh Utari dengan wajah yang berubah berseri-seri.
Embara menelan salivanya susah payah. Perdana? Itu artinya baru pertama kali Utari membuat sup? Wah, siaga 86 ini.
"Malah bengong!" Sentak Utari. "Udah cepet ke mandi. Habis itu langsung turun ke bawah. Hari ini spesial Mama buatkan sop. Jadi makannya harus barengan. Hayuk atuh Ayah sama adek kamu mau makan juga."
Tidak ada cara lain, tidak ada juga jalan lain, selain menjawab—
"I-iya, Mama."
◇◇◇
Jangan pernah berpikir kalau jantung yang berdetak brutal itu hanya saat kita berhadapan dengan orang yang kita cintai. Berpegangan tangan, atau bahkan menghabiskan waktu di tempat-tempat yang memiliki kesan romantis. Nyatanya, jantung berdebar juga dirasa saat nyawa mulai terancam. Atau bahkan ketika kita dalam kondisi dimana antara hidup dan mati dipertaruhkan. Dan opini kedua lah yang sedang Embara rasakan.
Kini tepat di hadapan, makanan dengan lauk yang sudah disebutkan oleh Utari tertata rapi di atas meja. Nampak menggiurkan, tapi tidak mampu membuat mereka—Embara, Aditama, dan Rico—untuk melahap makanan itu. Tidak ada yang berselera untuk memakan sup itu barang sesuap pun.
"Bara, coba kamu makan dulu." Aditama—ayahnya—menggeser piring yang sudah lengkap lauk nya ke samping. Tanpa memakannya, Aditama sudah bisa menebak bagaimana hasil masakan perdana sang Istri. Sudah sejak dulu, bahkan saat awal mengenal, hanya Aditama yang berani menghabiskannya. Lebih tepatnya memaksanya.
Embara menggeleng. Tangannya lalu bergerak, menggeser piring itu kembali ke samping. "Ayah aja duluan."
"Kamu aja, Bar. Entar Mama kamu balik. Liat kita belum makan, wah ... perang dunia, Bar." Wajah melas terlihat jelas di wajah Ayahnya.
"Ayah, kan, udah lama makan masakan Bunda, harusnya udah kebal. Bukan malah Bara," protes cowok dengan kaus oblong itu pada Aditama.
"Iya, dulu. Sekarang kekebalan Ayah berkurang. Udah lama gak teruji lagi." Ngaco memang.
Masih sama, Embara menggeleng tegas. Pandangan Aditama pun beralih pada si Anak bungsu yang duduk di seberangnya. "Mending kamu aja, Co, yang makan."
Bocah sepuluh tahun itu menggeleng ribut. "Gak mau." Erico tahu betul, apa akibatnya menjadi pencicip pertama masakan Ibunya. Apalagi jika ini masakan pertama kali. Sudah berkali-kali dia berada di posisi ini sejak usia lima tahun.
"Udah, Yah. Makan aja deh."
Pria paruh baya itu pada akhirnya mengangguk pelan. Perutnya sudah bernyanyi-nyanyi sedari tadi. Dan makanan yang tersedia cuma makanan hasil karya sang Istri. Mungkin tidak masalah hari ini mengajak lidahnya untuk berperang. Sudah lama juga lidahnya tidak dilatih. Do'akan Semoga kekebalannya masih ada.
Aditama meraih sendok itu, diikuti oleh Embara. Sejurus kemudian, keduanya menyendokkan makanan bergizi itu ke dalam mulut masing-masing secara bersamaan.
Sedetik kemudian, bola mata Embara melebar. Mulutnya ia tutup rapat, dengan tangan terkepal. Seakan yang dia makan adalah sebongkah batu, dengan susah payah Embara menelannya.
Tidak jauh beda dari sang Putra sulung, Aditama juga demikian. Kepalanya mendongak, dengan harapan makanannya segera turun meluncur ke tenggorokan.
Rasa asam bercampur asin membuncah, memenuhi ruang mulut mereka. Mata Embara bahkan sampai berair dibuatnya, karena saking asamnya. Bahkan sekarang rasa ngilu sudah terasa di mulut.
Kalau penasaran, rasakan saja sendiri.
Setelah berhasil menelannya, dengan segera dia mengambil gelas yang sudah berisi air putih lalu meminumnya hingga habis tak bersisa. Napas Embara tersegal-segal. Ngilu masih terasa di mulut, bahkan menjalar di gusi. Embara tidak habis pikir, bagaimana bisa rasa asam yang begitu kuat, bercampur dengan rasa asin? Untungnya dia kuat menelan itu bulat-bulat.
"Yah, Bara tiba-tiba udah kenyang." Kedua tangannya mendorong piring itu ke depan.
"Ayah juga." Aditama pun melakukan hal yang sama.
"Mama, kok, bisa buat makanan kayak gini? Emang Ayah gak temenin Mama masak tadi?" Pasalnya, setiap Utari ingin memasakkan makanan, Aditama akan siap mendampingi Istrinya itu. Mulai dari memilih bahan, sampai mempersiapkannya ke piring. Akan tetapi, sepertinya Aditama kecolongan. Utari memasak tanpa sepengetahuan darinya.
Aditama menggeleng. "Mama kamu udah masak sebelum Ayah pulang tadi."
Mendengar jawaban dari pria yang menjabat sebagai Ayahnya, Embara lantas menghembuskan napas gusar. "Trus sekarang gimana, Yah?" Lelah rasanya, dirinya yang dihukum seharian, dan kini lidahnya yang disuruh untuk bisa menerima rasa asam bercampur asin itu.
"Lho? Belum pada makan?"
Secara tiba-tiba, Utari sudah kembali dari dapur. Mengagetkan Ayah dan Anak yang sedang memikirkan cara agar mereka bisa terhindar dari kondisi ini. Perasaan was-was sudah menjalar. Tubuh Embara panas dingin dibuatnya.
*
*
*Gimana mau makan, lah wong rasanya kayak asam bercampur asin..
Embara yang sudah dapet ujian dari pagi, eh ternyata berlanjut sampe rumah ☝🏻😭
Gimana untuk part ini? Kalau ada kesalahan atau typo yang bertebaran, mohon koreksi, ya, makasih...
Dan makasih juga untuk yang sudah memberikan feedback 🤧
Kalian tau cara menghargai ...Follow juga akun instagram aku:
@raydhinnSampai ketemu di part selanjutnya
PapayDengan penulis,
Dhin
27/3/2024
KAMU SEDANG MEMBACA
ARCANUM: WHO'RE YOU?
Novela JuvenilDari Pertemuan pertama di tempat sampah, tempat perjanjian pertama di toilet wanita, dan selalu berakhir ribut setiap kali bertemu, seakan menjadi pertanda keras bahwa Embara Cakrawala memang tidak seharusnya dipertemukan oleh seorang gadis-yang ti...