Halooo... apa kabar nih kalian
Masih semangat 'kan bacanya?Jangan lupa berikan feedback dengan memberikan vote dan komentar :)
Happy reading all
◇◇◇
Raganya pun ia condongkan lebih dekat pada Aditama. "Yah, kabur aja, ya," bisiknya. Aditama tampak bimbang. "Udah terlambat, Bar. Yang ada malam ini Ayah tidurnya di luar lagi. Moh ah."
"Ayo Makan. Tunggu apalagi? Atau lagi nungguin Mama, ya?" Senyum haru mengembang di wajah wanita yang berusia sekitar 40 tahunan itu.
"Ma." Menoleh, Utari menatap si Putra bungsu yang tadi memanggilnya. "Supnya aneh."
Hening mengambil alih. Utari tampak mencerna ucapan Rico, sedangkan Aditama dan Embara sudah dibuat gugup. Besar juga nyali Erico.
"Aneh?" Beo Utari. "Aneh gimana?"
"Coba Mama rasain sendiri." Utari mengikuti titah dari sang Suami. Baru satu sendok mendarat di mulutnya, ekspresi Utari langsung berubah. Kerutan di sekitar wajah bermunculan menahan asam, seiringan dengan sendok yang kembali dia letakkan ke piring.
"Kok, rasanya kecut gini?" Utari menatap dengan pandangan bertanya-tanya. "Perasaan udah bener. Kok jadi gini, sih? Apa tambahin lagi aja, ya, gula? Biar manis."
"Jangan!" Embara dan Aditama menjawabnya dengan serentak. Mana ada rasanya akan lebih enak kalau ditambah gula? Yang ada malah jadi-ah, sudahlah.
"Tapi Mama capek-capek bikin nya. Masa dibuang sih? Sia-sia dong." Bahu Utari merosot. Perlu waktu untuk membuatnya, dan tanpa dimakan supnya itu akan dibuang?
"Masa dimakan sih, Ma? Yang bener aja," sahut Aditama mengusak rambut belakangnya. Masa supnya mau dimakan?
"Sedikit aja dong kalian makan. Mama buatnya susah nih," bujuk Utari yang menggeser piring itu tepat ke hadapan sang Suami. Tatapan memohon terpancar jelas dari netranya.
Pria paruh baya itu meneguk salivanya dengan kasar. Bahkan satu suapan saja sudah menggoncangkan indra perasanya. Kalau dimakan? Kacau sudah dunia persilatan.
"Mama." Aditama balik mendorong benda berbentuk bulat itu pada Utari. "Jangan, ya. Kita makan yang lain aja. Ini nggak usah makan. Ya?" Dengan hati-hati dan nada yang dibuat selembut mungkin, Aditama berusaha membujuk sang Istri. Masalahnya, pria dua anak itu sedang tidak ingin tidur diluar. Sudah cukup dua minggu yang lalu.
Wajah Utari nampak menunjukkan ketidaksetujuan. "Tapi, kan, Mama buatnya susah."
"Ya udah, berarti Mama aja yang makan."
Ekspresi Utari berubah. Bagai singa yang sudah merasa terganggu, mata wanita itu melotot tajam. Terlayangkan untuk ketiga manusia yang ada di sana.
"Apa Ayah bilang?!"
"Eh, enggak gitu maksudnya, Ma. Hari ini kita pesen makan aja, ya. Supnya dibuang aja. Mama nggak kasian sama anak-anak? Mereka belum sekebal Ayah. Masa depan mereka masih panjang."
"JADI MAKSUDNYA MASAKAN MAMA INI MERUSAK MASA DEPAN MEREKA? IYA, GITU?!" Tatapan Utari semakin menghunus tajam bagai pedang yang siap membelah.
"Ayah nggak ngomong gitu, ya, Mama lho yang ngomong." Kedua tangan Aditama terangkat sejajar dengan kepala. "Coba kamu tanya sama anak-anak, mau nggak makan supnya."
Kepala Utari tertoleh cepat. Dengan tatapan maut, pertanyaan pun terlayang. "Kalian mau, kan, makan supnya?"
Keduanya terdiam. Embara bingung. Kalau dia jawab iya, yang ada lidahnya yang tidak selamat. Tetapi kalau dia menjawab tidak, malah uang jajannya yang terancam. Namun, sepertinya pemikiran Rico agak berbeda. Kalau dia jawab iya, keselamatannya yang terancam. Tetapi kalau dia jawab tidak, ya ... tidak akan terjadi apa-apa juga. Dia, kan, Anak bungsu.
KAMU SEDANG MEMBACA
ARCANUM: WHO'RE YOU?
Teen FictionDari Pertemuan pertama di tempat sampah, tempat perjanjian pertama di toilet wanita, dan selalu berakhir ribut setiap kali bertemu, seakan menjadi pertanda keras bahwa Embara Cakrawala memang tidak seharusnya dipertemukan oleh seorang gadis-yang ti...