**
Malam tiba. Semua maid sibuk berlalu lalang menyiapkan jamuan makan malam yang tentunya akan di ikuti oleh semua anggota keluarga Biantara. Terkecuali Fio. Anak mungil dengan baju putih kusam kebesarannya itu kini tengah bermain tanah di taman depan mansion. Tidak menghiraukan keadaan sekitar sama sekali.
Bibir tipisnya mengerucut, sesekali bahkan alisnya mengerut bingung saat menemui serangga-serangga kecil yang Fio tidak tahu apa namanya. Tawa bahagia lolos dari bibirnya setelah Fio berhasil menangkap seekor siput mungil dari balik bebatuan.
"Ih, lucunya~"
"Heh!"
Tengah sibuk-sibuknya mengamati sang teman baru, Fio bahkan tidak sadar Saka memanggil-manggil dirinya sejak tadi. Pemuda tiga tahun di atasnya yang sebenarnya agak kasihan jika melihat Fio seolah di anak tirikan. Namun juga sedikit jijik mendapati kenyataan bahwa saudara sepupunya itu sangat bersikap kekanakan. Jauh di bawah umurnya.
"Lo tuli?! Udah tolol, idiot, gak capek apa jadi tuli juga? Gue panggil dari tadi gak denger!" Fio menatap Saka polos, mengerjakan mata seraya mengerucutkan bibir. Tangannya membuang sembarang siput yang tadi di temuinya.
"Ih! Jijik. Gue cuma mau ngingetin. Jangan masuk! Awas lo! Takut gue ketularan idiot." Ujarannya di akhiri dengan kekehan sinis. Saka berlalu pergi setelahnya. Meninggalkan kerutan dalam di dahi Fio yang tidak mengerti kenapa Kakaknya itu merasa jijik.
"Pio ndak mau masuk, padahal." Gumam si sulung lirih. Hembusan angin menerpa wajah imutnya, membuat Fio otomatis memejamkan menikmati nikmatnya ciptaan Tuhan.
"Kak?"
Fio menolehkan kepala, masih dengan posisi berjongkoknya di tengah-tengah taman mansion. Jean nampak menatap bingung ke arahnya dari ambang pintu utama. Si bungsu yang mengenakan pakaian lebih layak dibanding dirinya itu mendekatinya.
"Kenapa main tanah? Udah malem. Kotor tangannya." Tegur Jean lembut. Fio menunduk takut. Tidak berani mendongakkan kepala guna menatap netra hitam Jean yang terlihat menyeramkan. Begitu anak itu di bangunkan oleh sang Adik, air mata yang sejak tadi Fio tahan pun akhirnya luruh.
"Jangan nangis. Gak marah. Jean gak marah. Ayo cuci tangan. Terus ke dalem." Jean menggandeng tangannya lembut ke arah kran yang berada di tembok belakang, mengambil tangan Fio untuk ia bantu cucikan menggunakan sabun yang memang tersedia di sana. Jelas Fio hanya diam, menuruti kemauan Jean.
"Udah gak nangis?" Tanya Jean memastikan. Fio mengangguk pelan menanggapinya, mencengkeram ujung kaus Jean agar Adiknya tidak marah lagi.
"Sudah.. Jangan marah ke Pio, Adik. Takut." Ungkap Fio jujur. Jean mengangguk seraya tersenyum tipis, kemudian membiarkan Fio mengikuti langkahnya masuk ke dalam mansion.
"Adik.." Kausnya Fio tarik kecil beberapa kali. Sontak Jean memberhentikan langkahnya tepat di depan pintu utama mansion.
"Kenapa?"
"Kata Saka ndak boleh masuk," ujar Fio sedih. Jean menghela napasnya berat. Bosan dengan larangan-larangan itu. Mencoba melawan sesekali tidak ada salahnya, kan?
"Boleh. Kakak belum makan? Makan di dalam nanti. Ayo masuk."
"Jean?!"
"Hm?"
Dengan beraninya, si bocah tujuh-- beberapa hari lagi delapan tahun itu mendongakkan pandangan, menatap sengit Bibinya. Yang memang tidak pernah menyukai Fio. Semua anggota keluarga besarnya memang membenci Fio. Banyak alasan mereka untuk menyalahkan Fio. Dari mulai sifatnya, kondisi mentalnya, serta kehadirannya yang di anggap mengganggu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pio ; The Unwanted Eldest
Teen FictionFio hanyalah Fio. Si anak polos yang tidak tahu bahwa sebenarnya, keberadaannya mereka anggap sebagai beban. Semua orang tidak menyukainya, Mommy dan Daddy juga membencinya. Tidak ada yang bisa Fio jadikan sebagai sandaran. Tangan mungil itu nyatany...