-12- Tentang Kehilangan dan rasa benci.

3.4K 300 46
                                    

**

Flash back (a week ago);

Minggu pagi ini, Airysh yang tengah menyusun legonya di ruang tamu mansion Biantara tidak di temani oleh siapapun. Hanya Fio lah yang Nana minta untuk mengawasinya sembari anak itu membuat dua kopi kepunyaan Alderick dan Azka di dapur. Sedangkan dirinya tertidur di kamar tamu karena mengaku sedang tidak enak badan.

"FIO! MANA KOPINYA?!"

Teriakan sang Ayah menggema ke seluruh penjuru Mansion. Kebetulan, hari ini, para Maid di liburkan. Mereka di biarkan istirahat di paviliun selama satu hari full atas dasar perintah dari Azka. Karena hari ini adalah hari libur, jadi suasana Mansion tidak sericuh hari-hari biasanya.

"Sebentar!" Dari arah dapur, Fio nampak menjawab dengan pelan. Ia meringis kuat saat merasa permukaan punggung tangannya memerah dan sedikit melepuh karena terkena air panas. Setelah menaruh dua gelas kopi itu ke atas nampan, Fio segera melangkah pergi dari dapur. Menuju ke teras untuk menyajikannya di hadapan Ayah dan Pamannya.

"Belikan bahan masakan untuk Ay, hari ini Paman dan Bibi akan menginap. Ambil ini, dan segera lah kembali pulang. Jangan terlalu lama!"

Setelah menerima beberapa lembar uang dari tangan sang Ayah, beserta catatan tentunya, Fio yang hendak pergi melenggang dari sana harus menghentikan paksa langkahnya karena mendengar teriakan kencang Airysh dari dalam.

"TUNGGUIN!! AY MAU IKUT!" Bocah yang kini sudah berusia enam tahun itu melangkah terburu dari dalam, menggenggam erat kaus Fio agar mau menunggu dan mengajaknya ikut keluar mansion. Berkeliling komplek itu menyenangkan, Airysh suka. Hidupnya selama ini sudah cukup terasa monoton karena sikap protektif Ayah dan Ibunya. Belum lagi beberapa larangan Jean dan kakak sepupunya yang lain.

Sebelum mengizinkan, tentunya Fio melirik sekilas Ayahnya dan Alderick secara bergantian. Seolah meminta izin.

"Hm. Ay boleh ikut. Tapi ingat, jangan sampai jatuh ataupun kenapa-napa, oke, sayang?" Alderick mengusap lembut surai sebahu putri kecilnya dengan senyuman lembut yang membuat Fio merasa iri. Gadis mungil itu mengangguk antusias.

"Thank you, Papi!"

"You're welcome, sayang. Ayo berangkat sana, bentar lagi siang, loh. Panas."

**

Fio menyesal. Sungguh. Mengizinkan Airysh ikut dengannya tadi adalah sebuah petaka yang Fio tidak pernah sangka akan terjadi sekarang. Gadis itu diculik! Dan Fio kehilangan jejak karena larinya yang tidak bisa cepat mengejar si mobil. Dengan napas tidak karuan, Fio berjongkok di pinggir jalan sembari memegangi kantung belanjanya yang terisi penuh oleh bahan makanan khusus untuk Airysh.

"Akh! Tolong jangan bertingkah, Ay hilang! Kamu jangan nakal!" Fio membentak perutnya sendiri yang mendadak terasa perih. Ia kembali bangkit, hendak pulang ke mansion secepat mungkin untuk memberitahu semuanya. Meski Fio tahu ada konsekuensi besar yang akan ia tanggung, Fio tidak takut sama sekali.

Langkahnya sempat terhenti sejenak di depan gerbang mansion karena kepalanya yang terasa berputar. Fio berlari masuk setelah melihat Alderick yang tengah terduduk sendirian di teras.

"Paman! A-Ay hilang! Ay diculik! A-aku gak tau harus gimana, tolong Ay, Paman.."

**

Konsekuensi besar yang Fio kira tidak akan separah itu nyatanya benar-benar terjadi. Namun, semuanya tampak seperti di luar ekspektasi Fio. Sejak siang hingga Sore ini, Fio di kurung di gudang sempit nan gelap yang terdapat banyak serangga kecil di dalamnya. Setelah tadi Nana menamparnya dua kali, dan Ayahnya memukulnya kencang di bagian perut, Fio rasa rubuhnya telah remuk.

"Je.. Pio takut.." lirihannya mengudara. Memanggil satu-satunya nama yang bisa Fio ingat sekarang. Jean, Adiknya.

Jemari bergetar Fio bergerak mengusap area bawah hidungnya sendiri yang terasa basah. Ketika matanya menangkap sebuah warna merah di jarinya, Fio yakin besar bahwa ia baru saja mimisan.

"Je, Sakit.. Pio mau Adik pulang.. Pio gak kuat, Sakit, Je.." Di dalam gelapnya gudang malam itu, Fio berucap lirih. Menantikan dengan sangat kepulangan Adiknya. Berharap kalau-kalau suatu saat Jean pulang, tujuannya adalah satu; untuk memeluk tubuh rapuhnya yang Fio yakini tak akan bisa lagi bertahan lama tanpa Sang Adik.

**

Fio menghela napasnya dalam-dalam setelah berhasil menyelesaikan pekerjaan terakhirnya di malam ini; mencuci piring bekas makanannya sendiri. Fio bersyukur bisa makan dengan layak hari ini. Kebetulan, Azka belum pulang. Alderick dan Nana juga tidak lagi menginap di sini semenjak kemarin membereskan semua barang mereka dan pulang ke kediaman mereka sendiri.

Fio tidak mengerti sebenarnya, kenapa ada orang tua yang se santai itu di saat anaknya bahkan tengah hilang entah ke mana? Airysh masih tidak bisa di lacak keberadaannya sejak tragedi penculikan satu minggu lalu. Dan semuanya nampak baik-baik saja. jujur, Fio sangat-sangat heran.

"Je jadi pulang, kan, besok lusa? Ujiannya sudah selesai, sayang?" Telinga Fio samar-samar menangkap suara ayahnya yang barus aja datang masih dengan setelan kantornya. Anak itu menunduk dalam saat Azka melewati keberadaannya di ambang pintu utama begitu saja.

"Hm."

"Je jangan terlalu pikirin masalah Ay, ya? Biar Daddy dan Paman Al saja yang cari Ay. Je jangan sampai sakit memikirkan itu. Okay, jagoan?" Azka menarik napasnya dalam sebelum tersenyum lebar. Jean memang tidak melihatnya karena kini mereka ada di dalam panggilan telepon biasa. Bukan video call. Pada dasarnya, Ucapan Azka tadi memang hanya di niatkan untuk menyindir Fio.

"Je pulang untuk Ay. Je bakal ikut cari Ay sesekali. Terus kabarin Je tentang Ay."

Balasan dari seberang sana terdengar begitu khawatir. Fio menunduk, menatap sendu ke arah lantai. Jadi, kepulangan Jean.. semata-mata hanya untuk Airysh, ya?

Fio tertawa getir. Hendak melangkah pergi dari sana, sebelum jawaban Azka seolah menghentikan langkah tergesanya.

"Pasti, sayang. Tenang aja, anak sialan itu sudah Daddy hukum. Je jangan pikirin dia terus. Gak baik."

Perkataan itu terucap dengan sangat enteng. Fio tahu siapa yang ayahnya maksud di dalam kalimatnya. Tangan si sulung mengepal lemah. Ia menjadi takut dengan tempat gelap dan sempit sekarang karena Ayahnya. Dan Azka sama sekali tidak peduli dengan itu.

Namun, seolah belum puas menghajarnya habis-habisan, rasa sakit itu kembali datang saat Jean justru membalas ucapan Azka dengan nada puas.

"Thanks, Dad. Je janji gak akan terlalu pikirin dia lagi."

**

09.06
Votenya lumayan ya ini cerita :'((( makasi banyak kakakk.. 🖤
Besok aku ujian :) untuk yg ujian juga, semangat ya~ bye! ketemu je di next part, okay?!

Pio ; The Unwanted EldestTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang