-07- Khawatirnya Jean.

3.8K 304 22
                                    

**

"Merepotkan."

Ucapan lirih dari Raina mendapatkan respon berupa desisan canggung dari si dokter yang kini tengah memeriksa Putra sulungnya. Fio terbaring tak sadarkan diri di ranjang kamar tamu setelah beberapa saat tergeletak begitu saja di halaman belakang karena tidak ada satupun orang yang mau menolongnya. Namun beruntungnya si kepala maid yang masih memiliki hati nurani meminta salah satu bodyguard untuk menggotong Fio masuk ke dalam mansion.

"Nyonya, Anak ini--

"Aku tidak memintamu berbicara, Jo. Cukup sadarkan dia dan kau boleh pergi dari sini." Raina langsung memotong ucapan si Dokter muda yang padahal hendak menjelaskan kondisi anaknya sekarang. Membuat Jo sedikit banyak menggerutu sebal dalam hati.

"Kenapa tidak menyadarkannya sendiri, Nyonya?" Tanya Jo sarkas. Namun jelas nadanya masih terdengar sopan. Kalau tidak, bisa-bisa ia di pecat dari pekerjaannya menjadi dokter pribadi keluarga ini.

"Tidak sudi. Sudahlah, lakukan saja apa yang ku suruh dan berhenti berbicara, Jonathan!" Bentak Raina seraya melangkah menjauh dari sana. Keluar dari kamar tamu dan entah akan bertujuan ke mana. Jo hanya menghela napasnya lelah sembari mengelus dadanya perlahan.

"Astaga.. Sabar kan aku karena harus menghadapi manusia sepertinya." Gumamnya frustasi. Tak lama setelah menenangkan diri dari amarahnya, Jo mulai mendekat ke arah ranjang. Mengambil minyak kayu putih dari atas nakas, kemudian mengolesnya sedikit ke bawah hidung si sulung Biantara. Hingga beberapa saat berlalu, Fio mulai terusik tak nyaman.

"Hei, Anak kecil. Kamu sudah bisa mendengar ku?" Fio mengerjapkan matanya dengan raut wajah yang bingung. Beberapa detik kemudian, anak itu memegangi erat perutnya yang terasa sakit bukan main.

"Sakit, ya?" Tanya Jo lembut. Fio mengangguk pelan. Dengan ragu ia mendongakkan kepalanya guna menatap Jo sendu.

"Sakit, Kakak.." Lirih Fio dengan suara yang sangat pelan.

"Makan, ya? Kamu belum makan, kan?" Jo bertanya seperti itu jelas karena ia tahu dan paham. Bukan sekali dua kali ia di undang ke sini dengan tujuan hanya untuk membangunkan Fio yang pingsan. Jelas Jo lama kelamaan hafal.

"Belum. Pio takut minta makanan.." Ujarnya sendu. Jo menatap anak itu dengan pandangan kasihan. Padahal jika di lihat secara fisik, Fio terlihat begitu menggemaskan. Namun entah kenapa kehadirannya seperti sangat dibenci di sini.

"Mau Kakak beli kan makan--

Brak!

"Adik!" Fio berseru senang. Melihat Jean yang baru saja datang dengan kondisi surai yang agak berantakan dan seragam yang tak lagi rapih setelah tadi mendobrak pintu kamar, si bungsu berlari kecil menghampirinya. Rautnya datar. Tasnya ia lempar ke sembarang arah. Jean beralih menatap Jo sengit.

"Keluar."

Jo mengangguk patah-patah. Jean yang marah adalah salah satu musuh terbesarnya. Lihat saja wajah mengerikannya sekarang. Dan gaya bicaranya.. Ah, Jean memang di ajarkan tentang sopan santun. Namun saat sedang marah, jangan harap ia akan mempraktekkannya.

"Oke. kakak keluar dulu." Dengan cepat Jo beranjak bangkit dari ranjang dan melangkah keluar kamar. Meninggalkan keduanya di dalam, mempersilahkan dua anak kecil itu saling berbicara bersama.

"Kenapa bisa pingsan?" Tanya Jean datar. Fio yang mulai ketakutan akan tatapan tajam adiknya hanya bisa menunduk dalam, ia memainkan jemarinya menahan gugup.

"Perut Pio sakit," jawabnya lirih. Jean menghela napas, mengarahkan tangannya ke atas permukaan perut rata itu, kemudian mulai mengusapnya lembut.

"Belum makan dari pagi? Sejak aku berangkat?" Tanya Jean berturut-turut. Fio mengangguk menanggapi. Matanya fokus melihat ke arah tangan Jean yang dengan telaten masih mengusap-usap perutnya pelan.

"Makan, ya? Aku ambilin makan," Pergerakan tangan Jean seketika terhenti ketika Fio menggeleng lemah.

"Makan. Aku gak nerima penolakan. Mau Aku suruh Kak Jo suntik Kakak?" Tanya Jean menakut-nakuti. Fio menggeleng lagi dengan terburu, ia takut dengan jarum suntik.

"Jangan, Iya Pio mau makan. Adik jangan minta Kak Jo suntik Pio," Bibirnya melengkung ke bawah.

"Iya, Enggak. Sebentar, ya. Nanti Aku ke sini lagi." Jean beranjak bangkit dari duduknya, melangkah keluar untuk meminta maid menyiapkan sepiring makanan dan membawanya sendiri dari dapur menuju kamar. Catat, membawanya sendiri. Fio saja sampai keheranan ketika Jean tiba-tiba masuk sendirian dengan satu nampan persegi panjang di kedua tangannya.

"Kenapa, Kak?" Tanya Jean yang melihat raut wajah bingung Fio.

"Ndak papa. Terima kasih banyak, Adik." Fio mengucapkannya dengan sangat tulus. Nadanya terdengar begitu bahagia, sampai Jean ikut tersenyum lebar di buatnya.

"Sama-sama. Ayo duduk dulu, Aku suapin makannya."

Jean membantu membangunkannya dengan sabar. Sesekali, ringisan kesakitan Fio terdengar lirih. Sampai akhirnya setelah Fio berhasil untuk duduk seraya bersandar ke kepala ranjang, Jean mengusap pipi putihnya lembut.

"Sakit banget, ya?" Tanya Jean panik. Fio menggeleng dengan senyum tipis, meski kini tangannya masih sibuk memegangi perutnya sendiri sembari sesekali meremasnya kuat.

"Ndak, Pio oke, Adik."

"Maaf."

Wajah Jean tertunduk lesu. Membuat tawa kecil Fio mengudara dengan merdunya. Tangan kanan si mungil bergerak spontan mengusap-usap surai adik bungsunya seolah menenangkan.

"Jangan minta maaf, yang salah Pio, bukan Adik. Sudah, ya. Jangan sedih. Pio di sini sama Adik, Pio janji gak akan sakit lagi."

**

"Pintarnya,"

Pujian dari Jean membuat Fio tersipu malu. Pipinya mendadak memerah, dengan bibir yang tampak sekali tengah menyembunyikan senyuman lebar. Jean terkekeh gemas saat melihat raut wajah Kakaknya sekarang. Menimbang-nimbang dari kadar kegemasan seorang Mauza Afio, Jean terkadang bingung kenapa anak itu tidak menjadi adiknya saja. Sungguh, Jean rela.

"Lucu banget, Kakaknya siapa, hm?" Jean tangkup dengan lembut pipi halus sang Kakak, Seketika, tatapan polos Fio langsung mengarah tepat ke matanya. Membuat Jean sejenak terdiam.

"Kakaknya Argya!" Seru si sulung semangat. Jean tertawa lepas. Nama itu, adalah nama kecil yang memang dulu Fio gunakan untuk memanggil Jean. Istilahnya, panggilan kesayangan. Namun, saat beranjak lebih besar lagi, Fio mulai merubah panggilannya pada Jean menjadi Adik.

"Dulu Algya, Sekarang Argya?" Ledek Jean dengan tampang jahil. Fio cemberut, ia mendadak sedih mengingat dulu pernah menjadi pengidap Speech delay.

"Eung, Pio bodoh, ya?" Tanya Fio pelan. Matanya menatap sendu ke arah bawah, tepat pada tautan tangannya dengan sang Adik. Jean yang sadar akan perubahan pada mood Fio pun menghentikan kejahilannya, segera ia rengkuh tubuh kecil itu ke dalam dekapannya. Ia peluk Kakaknya kuat-kuat, berharap karenanya, Fio tidak semakin rapuh.

"Enggak. Semua tentang Kakak itu sempurna. Semua tentang Kakak tidak punya cacat."

"Bobo, ya?"

"Aku di sini, temenin Kakak."

Jean juga bisa menjadi sosok Fio di beberapa keadaan. Jean tahu Kakaknya jauh lebih sakit darinya dalam semua hal. Jean tahu bahagianya Fio terkadang hanyalah kepura-puraan.

Dan Jean pastikan mulai sekarang, Ia tidak akan lagi mengulang kesalahannya di masa lalu;

Membenci Fio yang sebenarnya tidak tahu apa-apa atas segala makian yang mereka lontarkan.

**

"Kenapa mereka malah menjadi semakin dekat?!"

**

22.05
finally, je :)
Pio akan jadi long story.
tapi gak akan tamat dalam waktu singkat. aku sibuk sekali sama sekolahku belakangan ini, akhir bulan nanti ada olimp, awal bulan depan juga ada ujian kenaikan. pusingnya itu loh.. (⁠ ⁠◜⁠‿⁠◝⁠ ⁠) maaf kalau kemarin-kemarin dan kedepannya akan jarang up. Loveuuu

Pio ; The Unwanted EldestTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang