**
Napasnya Jean hela dengan kasar. Bocah itu menatap lamat-lamat sepatu barunya, Azka baru saja membelikan itu kemarin. Tidak sama sekali merasa senang, Jean justru merasa sesak. Setiap kali Azka memberikannya barang baru yang mahal, Jean seolah langsung secara spontan teringat Kakaknya.
Fio tinggal di panti asuhan. Tempat yang jelas tidak mungkin memberikannya harta benda sebanyak yang Jean dapat. Tempat yang juga tidak bisa membuat Fio dilimpahkan kasih sayang sederas yang Jean peroleh setiap harinya.
"Ayo," Ajak Raina pelan. Jean mendekat. Ia genggam tangan Raina untuk membantu wanita itu masuk ke dalam mobil. Jean lagi-lagi menghela napasnya lelah saat merasa Ibunya seperti orang yang tengah hilang fokus.
"Mom?" Jean mengusap perlahan punggung tangan Raina. Keduanya kini sudah berada di dalam mobil. Tinggal menunggu Azka yang masih bersiap. Keluarga kecil itu berencana akan menjemput si sulung dari panti hari minggu ini.
"Hm? Kenapa, Sayang?" Surainya diusap pelan. Jean menggeleng, ia raih tangan Raina. Dielusnya tangan kurus itu secara lembut.
"Mommy yang kenapa? Mommy lagi sedih?"
"Enggak, sayang." Raina tertawa kecil. Ia mengelus surai Jean dengan teratur.
"Mommy pikirin Kakak, ya?" Tanya Jean pelan. Pergerakan tangan wanita itu terhenti. Raina terdiam sesaat sebelum menjawab dengan nada yang sendu.
"Mommy ngerasa bersalah. Mommy-- Mommy enggak ngerti, Dek." Jean menggenggam erat tangan Raina, getar suara ibunya terdengar pilu. Jean mengerti, ia pun merasakan hal yang sama. Tapi rasa-rasanya, untuk menerima kembali kehadiran Fio di sini pun terlalu sulit.
"Kalau sampai Kakak enggak mau pulang.. Udah, ya, Mom? Jangan pikirin masalah ini terlalu keras. Je enggak mau Mommy kenapa-napa."
**
"Ael, sinii.."
Fio memapah bocah kecil itu ke dalam rumah dengan tawa yang pecah karena wajah cemongnya terlihat begitu lucu. Meski tangis Terdengar keras, Fio tidak khawatir. Bocah itu memang cengeng.
"Kai! Tolong mandiin Ael! Dia jatuh ke genangan air!" Sisa-sisa tawanya masih ada. Kai yang mendekat dari arah dapur seketika terdiam menemukan Ael yang tengah terisak dengan kondisi badan yang basah kuyup dan Fio yang tengah tertawa di sampingnya.
"Kok bisa?" Tanyanya bingung.
"Ih cepet mandiin, Kaaaiii!" Rengek Fio dengan kesal. Ia memberikan Ael ke depan Kai untuk digendong ke kamar mandi. Kai yang tiba-tiba dititipi bocah berbalut lumpur itupun hanya mampu pasrah. Meski setelah berhasil menggendong Ael ke kamar mandi, Kai tersenyum tipis menahan gemas.
Apa tadi? Fio merengek?
Kenapa anak itu sangat lucu? Bahkan lebih lucu dari semua anak kecil di sini. Tawanya membuat Kai tersenyum. Hal langka yang padahal selalu Kai hindari sejak dulu.
"Kenapa El?" Rafa menyembulkan kepalanya dari balik pintu kamar saat tidurnya harus terganggu karena mendengar tangisan Rafa. Kai yang tengah melepas baju Ael setelah menurunkan anak itu di dapur pun menjawab spontan.
"Jatuh ke lumpur pas tadi main."
"Cih. Yang jagain dia Fio, kan? Emang gak becus."
"Apasih?!" Kai menyentak tidak terima. Membuat tangis Ael lagi-lagi pecah. Bocah itu dengan segera Kai bawa ke dalam kamar mandi untuk ia bilas tubuhnya. Sembari menggerutu pelan, Kai memilih untuk tidak menggubris Rafa yang kini hendak kembali masuk ke kamar untuk melanjutkan tidurnya. Alisa tengah pergi ke pasar pagi ini, jadi ia tidak perlu repot membantu wanita itu memasak untuk sekarang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pio ; The Unwanted Eldest
Novela JuvenilFio hanyalah Fio. Si anak polos yang tidak tahu bahwa sebenarnya, keberadaannya mereka anggap sebagai beban. Semua orang tidak menyukainya, Mommy dan Daddy juga membencinya. Tidak ada yang bisa Fio jadikan sebagai sandaran. Tangan mungil itu nyatany...