**
Dini hari sudah menyapa. Dan Jean sama sekali belum bisa tertidur. Jean khawatir. Jean takut. Kakaknya pasti tidak baik-baik saja. Tangisnya terasa percuma, maka dari itu, Jean memilih untuk berdiam diri di dalam kamar tanpa melakukan apa-apa. Sembari memikirkan cara untuk membalas perbuatan ayahnya karena ia tahu, bahwa mendobrak pintu kayu setebal itu adalah mustahil bagi anak delapan tahun sepertinya.
"Kak.. Je minta maaf." Bentakannya adalah salah satu penyebab kenapa semua ini terjadi. Jean menyesal, benar-benar menyesal. Jean bersumpah, sampai kapanpun, ia tidak akan pernah lagi membentak Kakaknya.
"Je takut Kakak luka.. Je mau Kakak.." Air matanya kembali muncul, namun seolah tertahan oleh banyaknya rasa benci Jean pada kedua orang tuanya sendiri.
"Je takut.."
**
Toktok..
"Adek? Nak?"
Ketukan di pintu kamar Jean terdengar pelan dari luar. Di dalam, si empu nampak masih tertidur pulas di atas ranjangnya dengan tangan yang masih setia meremas erat selimut tebalnya. Karena tidak sabar, Raina yang khawatir pun membuka paksa pintu itu dengan kunci cadangan. Jelas karena kunci aslinya Azka pegang sejak semalam.
"Sayang.." Raina melangkahkan kakinya perlahan menuju ke arah ranjang. Dapat ia lihat wajah Jean yang pucat dan matanya yang sembab. Kening putra bungsunya mengerut, terganggu akan suara-suara yang ia buat sejak tadi.
"Bangun, sayang.. Mandi, ya? Mommy siapin baju. Kita gak sekolah dulu hari ini." Raina membelai surainya lembut. Jean mengerjapkan mata beberapa kali dengan pandangan yang langsung tertuju pada ibunya. Tangan anak itu merentang, Jean ingin mengadu.
"Mom.." Setelah secara terburu memeluk Raina erat, tangis Jean pecah. Wanita itu menghela napas kasar. Tidak tahu saja, ia yang menjadi salah satu penyebab tangis anaknya sekarang.
"Dad jahat sama Kakak, Daddy gak mau denger Je, Dad jahat.. hiks Je mau Kakak, Mommy.." Raina hanya diam. Tidak tahu harus berbuat apa. Dengan lembut, ia menarik Jean keluar dari pelukannya. Jean yang masih terisak sontak kebingungan, Saat melihat tampilan Raina yang sudah rapih seperti orang yang hendak pergi.
"Mom.."
"Mandi, ya? Adek gak sekolah dulu hari ini, okay? Je ikut Mommy mau sayang?" Mata Raina nampak berkaca-kaca. Si bungsu masih terlihat bingung, sampai Raina beranjak bangkit dan membangunkan Jean, kemudian menariknya pelan ke dalam kamar mandi, Barulah Jean tersadarkan sepenuhnya.
"Mommy.. Kenapa? Ada apa?" Tanya Jean panik. Ia tahu semua tidak baik-baik saja sekarang.
"Sayang.. Mandi dulu, ya? Bajunya udah Mom siapin. Baru habis itu kita bicara. Je nurut sama Mommy dulu kali ini, ya. Please?" Jean perlahan mengangguk, ia masuk dan menutup pintu kamar mandi dengan pikiran yang melalang buana. Entah apa yang terjadi setelah ini, Jean harap semuanya akan berakhir baik.
**
"Pagi, sayang." Azka menyapa Bungsunya di ruang makan. Suaranya lembut. Tidak kasar seperti semalam ia membentak Fio. Jean yang masih emosi mengepalkan tangannya kuat-kuat, anak itu menunduk, tidak mampu sedikitpun menatap Ayahnya sendiri.
"Duduk, Adek." Raina yang tahu bagaimana watak Jean memilih memaklumi. Ia hanya menarik tangan Jean untuk duduk di salah satu kursi meja makan setelah menyiapkan satu porsi sarapan di piring yang memang khusus untuk putra Bungsunya.
"Mommy, Kakak--
"Jeano Anargya," Belum selesai Jean bicara tentang Fio, suara bariton Azka memotong ucapannya dengan lantang. Ayah dua anak itu meremat kasar garpu dan sendok di tangannya, hendak membantingnya, sebelum teguran Raina terdengar saking muaknya wanita itu dengan suasana sekarang.
"Azkara! Stop! Aku muak. Makan dengan tenang, bisa, kan? Jangan ganggu anakku sebegitunya!" Untungnya Raina masih bisa mengontrol mulutnya untuk tidak keceplosan berucap kata-kata kasar. Anaknya ada di sini, Raina tidak ingin Jean melihat pertengkaran mereka.
"Berisik. Mom, Je gak mau makan. Ayo."
Jemari Jean Raina genggam erat. Ia beranjak bangun dari kursinya, diikuti dengan Jean yang juga bangkit tanpa menatap ke arah Azka lagi. Pria itu menghela napasnya lelah. Ia juga tidak mau, tapi, bagaimana lagi? Ancaman Ayahnya mengacaukan pikirannya pagi ini.
"Mom, kenapa bawa koper?" Jean nampak shock, kepalanya menoleh ke belakang, tepat ke arah Ibunya yang kini terdiam kaku sembari memikirkan alasan untuk menutupi fakta tentang kepergian mereka ke London beberapa jam lagi.
"Mommy, jawab Jean!"
"Kita liburan, ya--
"Kamu dan Mommy akan pergi ke London, menetap di sana sampai lulus Sekolah Dasar, dan kembali ke sini saat kamu memang sudah ingin." Penjelasan lengkap Azka membuyarkan segalanya. Raina mengumpat dalam hati. Suami sialan. Kenapa pula Azka memberi tahu Jean tentang masalah ini? Anak itu pasti akan menolak.
"Mom! Je gak mau!" Jean sontak memundurkan diri, sebuah reaksi alami dari bentuk penolakannya terhadap rencana sang Ibu. Raina menggeleng kasar. Berusaha membohongi Jean semulus mungkin. Meski percuma. Jean tidak bisa di bodohi.
"Je, sayang, Enggak gitu. Kita liburan, ya? Sampai beberapa bulan aja, kok. Sayang.. dengerin Mommy dulu--
Jean terlanjur kecewa. Ia dengan tatapan datar menghindari dari sentuhan Raina. Kakinya melangkah cepat guna pergi dari sana, Meski nyatanya, semua usahanya berakhir menjadi sia-sia saat Azka menarik keras pergelangan tangannya ke arah pintu utama.
"Ikut Daddy! Jangan membangkang, Jean!"
Brak!
Pintu utama Azka tendang keras hingga terbuka sepenuhnya dari dalam. Keduanya terus berjalan beriringan menuju ke arah halaman mansion, tempat di mana mobil yang akan mengantar Raina dan Jean ke Bandara sudah terparkir apik.
"Je gak mau! Lepas! Argh! I hate you! JEAN BENER-BENER BENCI SAMA DADDY!" Teriakan si bungsu terdengar sampai ke paviliun belakang mansion. Fio yang menyadari itu segera berlari pesat menghampiri Adiknya di halaman depan. Tidak mempedulikan lagi sapu serta serokan yang ia tinggal begitu saja di taman belakang.
"Jangan lukain Adik,"
Lirihan si mungil teredam di dada Adiknya. Kini, Fio yang terlihat bergetar memeluk erat tubuh Jean tanpa ada halangan sedikitpun. Ya.. setidaknya sampai Azka menggeram marah dan memisahkan mereka berdua. Mendorong Fio kasar hingga terjatuh ke atas rerumputan dengan keras.
"Jangan sakitin Kakak! Atau Je gak akan pernah mau bicara sama kalian lagi!" Ancaman Jean berhasil. Azka terdiam tidak berkutik di tempatnya. Sama seperti Raina yang memang hanya menyimak sejak tadi. Perlahan, Jean melangkah mendekati Fio. Berjongkok, kemudian memberikan satu pelukan erat.
Rengkuhan terakhir yang Jean harap bisa mengobati semua luka Fio hingga nanti ia kembali pulang.
"Je pergi, ya? Je tahu gak akan aman kalau Je nolak. Je gak bisa tanpa Kakak, makanya Je harus pergi. Je minta maaf, Je gak bisa temenin Kakak untuk beberapa tahun ke depan. Terima kasih untuk semuanya, Je sayang Kakak."
Kening Fio di kecup beberapa saat. Sebelum Adiknya beranjak bangkit, Fio lebih dulu mencekal lengannya. Dengan mata yang memerah dan tangis yang sebisa mungkin Fio tahan, Ia tersenyum lebar seraya menatap Jean sendu.
"Pio sayang Adik, Pio gak ngerti kenapa, tapi Pio mau Adik cepet pulang." Matanya menyimpan banyak harapan yang Jean tahu tidak akan bisa ia penuhi. Dengan lembut, Jean bangunkan Kakaknya hingga kembali berdiri. Ia rapihkan surai Fio yang berantakan tertiup angin, Jean tidak menangis. Tidak bisa. Rasanya terlalu tiba-tiba, Jean juga tidak mau menambah keterpurukan Fio karena tangisannya.
"Je pergi dulu."
"Cepet pulang, Adik.."
**
04.06
Next part..???
KAMU SEDANG MEMBACA
Pio ; The Unwanted Eldest
Teen FictionFio hanyalah Fio. Si anak polos yang tidak tahu bahwa sebenarnya, keberadaannya mereka anggap sebagai beban. Semua orang tidak menyukainya, Mommy dan Daddy juga membencinya. Tidak ada yang bisa Fio jadikan sebagai sandaran. Tangan mungil itu nyatany...