**
"Jean, makan dulu, Nak."
Seruan Tiara dari luar kamar enggan untuk Jean turuti. Kepalanya justru semakin tenggelam pada bantal yang kini ia tiduri. Air matanya kian bercucuran deras. Jean tidak bisa menghentikannya. Jean tidak bisa menepati janjinya pada Fio untuk tidak menangisi terus menerus kepergian Kakaknya.
"Sana!" Jean memukul permukaan kasur beberapa kali. Dengan tangis yang tertahan, ia berusaha untuk membuat Tiara pergi.
"Nak ...."
"Pergi, Oma! Aku gak mau!"
Mendengar embusan napas lelah Tiara dari luar, dan langkah wanita tua itu yang semakin terdengar menjauhi area kamarnya, emosi Jean perlahan surut. Didekapnya bantal guling yang tergeletak di pojok ranjang. Jean tidak tahu harus melakukan apa lagi Sore ini, selain menangis.
"Kenapa mereka bisa tega?" Jean bertanya lirih. Orang tuanya, oh, tidak, hanya Raina--yang mengurung dirinya sendiri di kamar semenjak si sulung selesai dikebumikan. Azka menemaninya sejak pagi, bisa Jean rasa, ayahnya itu hancur. Meski Azka tidak menunjukkannya secara terang-terangan.
Diamnya yang berkelanjutan tanpa isak tangis membuat Jean jadi teringat sesuatu. Masa di mana sebenarnya Jean tidak ingin mengingatnya lagi. Masa di saat Fio tengah berjuang di tengah hidup dan matinya untuk terus bertahan. Jean ada di sisi anak itu, selalu.
Meski ia lebih banyak menangis dibanding kakaknya itu. Jean tidak tega. Sungguh. Bahkan jika boleh, Jean ingin bertukar dengan Fio. Menggantikannya melawan seluruh rasa sakit akibat kecelakaan yang penyebabnya masih rancu itu di atas ranjang Rumah Sakit.
"Kak?"
Hari itu, Jean berkunjung lagi. Fio sudah sadar total dari komanya. Namun, keadaan tubuhnya justru kian memburuk. Untuk sekedar bangkit dari ranjang PICU saja, Fio tidak sanggup.
Saat tadi Jean sampai dan menunggu jam besuk sejenak di bangku tunggu, Gerald sempat memberitahukan padanya tentang Fio yang sudah mengalami kejang bahkan sampai dua kali di hari ini. Itu membuat Jean kembali menangis. Kenapa? Kenapa harus Kakaknya?
"Hei?" Fio berusaha meraih tangannya untuk digenggam. Namun, sebelum itu terjadi, Jean lebih dulu menangkup punggung tangan Kakaknya dengan lembut.
"Ke--hiks ... Kenapa?" Jean mengusap kasar pipinya. Ia tidak ingin menangis di depan Kakaknya. Tapi air mata tidak bergunanya ini selalu berusaha meloloskan diri!
"Jangan na-nangis. Gak suka. Pio gak suka," ujar si sulung lirih. Fio masih belum punya cukup tenaga untuk bertingkah sok kuat di hadapan Adiknya.
"Enggak. Maaf. Je sedih."
Fio terkekeh. Bocah kecil di hadapannya begitu menggemaskan.
"Pio udah bangun, sayang. Jangan sedih." Jean semakin erat menggenggam jemari kurusnya. Air matanya justru menetes semakin deras mendengar penuturan Fio.
"Enggak bisa. Dada Jean sesek terus kalau inget Kakak."
Fio justru terkekeh. Ia menggeleng. "Jangan gitu. Pio enggak papa, kok." Karena sejujurnya, Fio lebih khawatir pada hal lain. Selain tentang sakitnya, juga selain tentang kondisinya saat ini.
"Adik udah mam?" Jean menggeleng. Azka dan Raina belum juga kunjung pulang. Tidak akan ada yang memaksanya makan di rumah.
"Mam sana," suruh Fio lemas. Ringisannya terdengar lirih. Jean menatapnya khawatir.
"Kenapa? Sakit? Apanya? Mau Je panggilin paman Gerald?"
Fio lagi-lagi hanya menggeleng. Ia hanya sedikit mual.
"Keluar dulu, ya? Mam, sayang. Sama sama paman dan ibu." Fio usap surai lebat itu dengan sayang. Jean mengangguk terpaksa. Ia paham, Kakaknya tengah membutuhkan banyak istirahat.
"Iya, Kak."
Setelah Jean menutup pintu dan menghilang dari pandangannya, Fio menghela napas dalam. Ia ... Lelah. Pikirannya penuh dengan hal yang tidak pasti. Tanpa sadar, matanya mulai basah. Pusing di kepalanya terus melanda sejak tadi. Belum lagi rasa mual itu juga selalu datang menghantuinya.
"Gimana cara Pio gantiin semua uang Ibu dan Paman? Pio takut Pio pergi dulu sebelum bisa ganti itu semua. Pio harus gimana, Tuhan?"
**
Raina benci getar yang tidak bisa ia kendalikan itu. Yang entah mengapa selalu datang di kala panik melanda pikirannya. Botol obat penenangnya Raina ambil kasar dari atas nakas. Ia keluarkan beberapa butir isinya dari dalam dengan tidak sabaran. Lantas, ia telan enam butir obat dari Dokternya itu secara bersamaan.
Anggap saja Raina gila. Ya. Ia memang tidak waras. Inginnya kali ini hanya satu, tenang. Atau mungkin, opsi yang lebih bagus menantinya. Bertemu dengan sulungnya di sana.
Raina menjambak surainya sendiri. Kepalanya memberat setelah butiran-butiran obat ia ditelannya tanpa air. Senyumnya mengembang tipis. Ia merebahkan diri di atas lantai, menempelkan tangannya ke atas permukaan marmer dingin itu sembari sesekali mengusapnya lembut.
"Dad? Mom?"
Bahunya tersentak kaget. Fio ada di hadapannya! Oh, Suaminya juga berada di sana. Mereka berada di PICU kini. Dengan Fio yang menatap keduanya sayu, dan tangannya yang merentang lebar. Raina merasa napasnya seperti tercekat. Rasanya begitu susah untuknya bergerak sekarang.
greb!
"Operasinya tiga hari lagi?" tanya Gerald lirih. Fio mengangguk pelan di salam dekapan hangat sang Ayah.
Raina masih terdiam memaku. Bahkan saat Gerald melepas rengkuhannya pada si sulung, Raina hanya dapat terdiam tanpa melakukan apapun. Rasanya, semua perasaannya bercampur menjadi satu.
"Mommy--"
Tak ingin lebih lama mendengar suara lirih Putranya, Raina bergegas memeluk anak itu erat. Ya. Ini yang dilakukannya pada Fio saat itu. Terakhir kali? Ya. Terakhir kali. Tidak bisa lagi Raina melalukan ini pada sulungnya di waktu-waktu lain. Tidak akan bisa.
"Sembuh, ya?" Raina berujar lirih. Fio tersenyum tipis. Mengangguk yakin.
"Tolong bertahan buat Mommy, Daddy, dan Adek."
Lagi dan lagi, Fio mengangguk. Ia melingkarkan tangannya ke leher Raina. Merasakan lehernya sedikit basah, Fio tahu Raina menangis di sana. Keadaannya se-menyedihkan itu, ya? Fio ingin meminta maaf. Ia telah membuat Ibunya menangis. Fio tidak seharusnya menjadi begitu jahat sekarang.
"Mom, sudah. Jangan nangis."
Kata-kata itu hanya asal Fio ucapkan. Karena selanjutnya, ia justru ikut menangis. Fio terisak kecil di dalam dekapan Ibunya. Merasa lemah. Juga takut. Ia akan pergi setelah ini? Harapan untuknya hidup semakin terasa sedikit seiring dengan keadaannya yang tak kunjung membaik dari waktu ke waktu. Fio tidak bisa berharap banyak.
"Mom, takut." Raina semakin mengeratkan pelukannya. Diusapnya punggung sempit Fio berulang kali.
"Jangan takut. Mommy sama Daddy akan selalu temenin Fio di sini."
Azka ikut membaur dalam pelukan itu pada akhirnya. Ia dekap kedua daksa rapuh itu secara bersamaan. Memberikan mereka kekuatan di kala perasaannya juga tengah tidak stabil. Tangisnya masih bisa Azka tahan, memang. Namun, rasa takut akan keadaan si sulung yang masih terus menggelayuti hatinya juga sedikit banyak menyakiti Dirinya sendiri.
"Mommy dan Daddy sayang Pio?" Mata berkacanya terpejam sejenak. Fio tersenyum lebar. Berusaha untuk terlihat baik-baik saja. Kepalanya ia sandarkan pada kedua bahu orang tuanya itu.
"Sayang. Sayang sekali."
"Hehe. Terima kasih."
**
09.11
KAMU SEDANG MEMBACA
Pio ; The Unwanted Eldest
Dla nastolatkówFio hanyalah Fio. Si anak polos yang tidak tahu bahwa sebenarnya, keberadaannya mereka anggap sebagai beban. Semua orang tidak menyukainya, Mommy dan Daddy juga membencinya. Tidak ada yang bisa Fio jadikan sebagai sandaran. Tangan mungil itu nyatany...