-06- Hukuman dari Mommy.

4K 325 20
                                    

**

Tiga jam.

Lebih, bahkan.

Fio mendekam di dalam kamar mandi akibat Azka yang menguncinya di sini sejak awal sampai akhir pesta. Hening yang melanda dan menguasai seluruh sudut ruangan membuat Fio merasa tidak nyaman. Kepalanya pusing, Perutnya juga perih karena belum sempat mengkonsumsi makanan berat seharian ini.

ceklek..

Begitu pintu terbuka, mata sayu Fio langsung membelalak kala mendapati Raina yang berdiri di hadapannya dengan wajah penuh amarah. Wanita itu masuk, menggeret kasar tangannya agar mau mengikuti dirinya keluar kamar mandi. Fio sampai terseok-seok karena tidak bisa mengimbangi langkah sang Ibu.

"Mommy, Fio minta maaf.." Lirihan si mungil terdengar pilu. Raina menggeram, ia kelewat emosi. Rasa amarah dan malu yang terlalu banyak membuatnya kalap.

"Saya bukan Ibumu! Jangan panggil saya seperti itu!"

Bentak wanita itu tanpa sadar. Para Maid yang tengah membereskan bekas pesta diam saja, mereka memilih tetap fokus pada pekerjaan masing-masing di banding mengurusi masalah majikannya.

brak!

Tubuh Fio di banting ke arah pintu kayu yang sebenarnya tadi masih tertutup. Kini, benda itu terbuka dengan sendirinya akibat tubuh Fio yang dengan keras mendorongnya ke dalam. Matanya terpejam, Fio meringis saat merasa punggungnya seperti remuk. Ia memberanikan diri menatap Mommynya sendu.

"Mom.. Pio belum makan, Jangan pukul Pio dulu. Badan Pio sakit.." Suaranya bergetar parah. Fio memegangi punggungnya sembari menahan rasa takut yang begitu besar.

"Siapa kamu berani mengatur saya?!"

Raina mendekat, ia kembali menyeret lengan kurus Fio agar semakin masuk ke dalam kamar tamu. Melepas cekalannya kasar hingga tubuh Fio lagi-lagi terpaksa membentur dinginnya lantai.

"Sakit, Mommy.." Matanya berkaca-kaca, Bukan karena sakit, tetapi karena takut.

plak!

"Saya benci mengingat fakta bahwa kamu adalah anak kandung saya, Afio." Raina berujar setelah dengan entengnya menampar pipi kanan Fio keras. Wanita itu perlahan menangis, ia terisak pelan di hadapan putra sulungnya sendiri. Anak yang sejak mulai bisa berbicara Raina anggap kekurangan. Anak yang selalu ia benci dan tidak pernah berusaha ia terima hadirnya di rumah ini.

"Mommy jangan nangis, Maafin Pio. Maafin Pio, Mommy." Air mata Fio luruh, meski pun begitu, tangisnya tidak kunjung pecah. Anak itu beranjak bangkit, ingin merengkuh tubuh Raina, sebelum..

Dugh!

"JANGAN DEKATI SAYA, BRENGSEK!"

Sikutnya terasa kebas. Fio mengepalkan tangan menahan sakit. Hatinya sesak. Fio hanya ingin memeluk Mommy, Fio hanya ingin menenangkan Ibunya dan berbisik tentang seberapa besar rasa bersalahnya karena telah lahir. Fio ingin mengakui itu. Kenapa tidak boleh?

"Anak tidak berguna! Bisanya hanya membuat malu!"

"Hiks saya benci kamu, Afio! Saya benci!"

"Maafin Pio, Mommy.." Fio yang sebenarnya masih sangat lemas memaksa untuk bangkit. Ia berlutut, di hadapan ibunya sendiri untuk meminta permohonan Maaf.

"Maaf, Maaf Pio lahir dari perut Mommy. Maaf Pio jadi Kakaknya Jean, Maaf Pio selalu saja bikin Mommy dan Daddy malu. Maaf, Maafin Pio." Fio berujar dengan nada yang masih gemetar. Karena sungguh, air matanya tidak bisa di ajak berkompromi. Padahal, Fio sudah menahannya sekuat tenaga. Fio benci tangisan.

"Maafmu tidak bisa merubah apapun." Pandangan Raina kosong, ia menangis dalam diam. Rasanya begitu sakit mengingat omongan-omongan pedas dari keluarganya dan keluarga sang suami tentang lahirnya Fio dulu.

"Pergilah dari sini, atau bila perlu dari dunia. Maka maafmu baru bisa menjadi berarti."

**

Mata Fio berbinar ketika melihat Jean yang berjalan ke arahnya. Pagi ini, Fio berada di taman. Sembari memegangi sapu dan masih dalam posisi kelaparan sejak kemarin malam. Fio begitu kegirangan saat langkah Jean semakin mendekatinya. Anak itu tertawa-tawa senang saking tidak sabarnya ingin bertemu dengan sang Adik.

"Adik! Pio kangen," Ujarnya semangat. Jean menatapnya datar, kemudian tanpa kata menyodorkan sebuah pisang segar yang sepertinya anak itu bawa dari dalam mansion.

"Makan."

Fio menerimanya dengan beribu rasa syukur yang ia ucapkan dalam hati. Meski hanya satu buah, Fio yakin pasti laparnya bisa sedikit teratasi. Senyuman lebarnya terpatri indah, Fio mengangguk-angguk berulang kali seolah setuju dengan perintah Jean.

"Terima kasih, Adik. Pio makan dulu, ya. Kamu mau sekolah?" Tanya Fio penasaran. Jean mengangguk. Namun setelahnya, Ia justru menarik lembut lengan sang Kakak agar duduk di bangku taman bersamanya. Anak itu hanya diam sambil mengawasi pergerakan Fio yang tengah menyantap pisangnya dengan terus tersenyum lebar.

"Adik sudah makan?" Fio menatap Jen polos. Yang hanya di balas anggukan singkat. Si sulung mangut-mangut mengerti. Memilih untuk melanjutkan makannya hingga selesai.

"Sudah habis. Adik mau berangkat? Sana berangkat, nanti telat. Pio juga mau lanjut sapu-sapu taman." Fio tersenyum tipis, senyum yang entah mengapa selalu bisa menghangatkan hati Jean. Si bungsu mengangguk, Ia hendak berlari masuk kembali ke dalam mansion, sebelum Fio buru-buru mencegat tangannya.

"Rambutnya berantakan, Adik. Sini Pio benerin." Tangan kurus itu bergerak merapihkan surai Jean yang memang sedikit acak-acakan. Di posisi seperti ini, dapat Jean lihat lebam yang sangat luas di lengan Kakaknya. Hingga tanpa sadar matanya mulai berkaca-kaca. Jean menjadi lemah sekarang jika menyangkut Fio.

"Kenapa?" Tanya Jean pelan. Jemarinya menggapai lengan Fio, mengusapnya lembut. Nada suaranya terdengar bergetar. Fio terdiam. Menggeleng kemudian seraya tersenyum kaku.

"Gak papa, kok. Ini Pio jatuh, Adik. Sudah, ya. Sudah benar rambutnya. Gih, sana sekolah. Pio mau nyapu dulu, Dadah!"

Saat langkah Fio bergerak menjauh dengan sapu di genggaman tangannya, Jean masih setia berdiri di tempatnya. Memandang kosong ke depan, dengan pikiran yang kalut. Sampai akhirnya ketika suara teriakan Raina menyadarkannya dari lamunan, Jean bergegas berlari masuk untuk mengambil tas dan pergi ke sekolah.

**

"Bibi, Ini potnya taruh di mana?"

Maid yang Fio tanyai menoleh sekilas, kemudian kembali fokus ke pekerjaannya sendiri. Menjawab pun dengan ogah-ogahan dan tanpa menatap balik Fio.

"Taruh di pinggir taman situ, Yang bener. Awas saja sampai rusak." Ancamnya tegas. Fio mengangguk patuh. Ia berjalan ke pinggir taman, meletakkan pot yang sejak tadi di benarkannya bersama pada maid lain.

"Astaga, Pio lelah.."

"Awas! Jangan menghalangi jalan!"

"Akh!" Fio meringis kuat setelah punggungnya dengan keras di senggol oleh salah satu maid. Anak itu langsung berjongkok, menyembunyikan wajahnya di sana sambil menahan sakit yang begitu menyiksa. Sampai pandangannya memburam dan semakin menggelap, Fio pada akhirnya kehilangan kesadaran.

**

14.05
maaf tidak panjang,
besok-besok janji di panjangin :)
kalau bisa. :))

Pio ; The Unwanted EldestTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang