**
Setelah pulang dari rumah sakit sore ini, Fio diantarkan kembali oleh Gerald ke Panti Asuhan. Pintu mobil yang dibukakan dari luar oleh si pemilik membuat Fio meringis tidak enak.
"Paman.."
"Hm?" Gerald menatapnya bingung. Fio turun dari mobil, kemudian bergegas memeluk Gerald erat.
"Boleh, kan?" Tanya Fio lirih. Gerald terdiam sejenak sebelum mengangguk.
"Boleh."
"Pio mau berterimakasih. Sampaikan juga ke Ibu, ya.." Fio mendongak, senyumnya dengan manis ia tunjukkan di hadapan si pria. Gerald tertawa kecil melihatnya.
"Iya, Nanti Paman sampaikan. Fio masuk, ya. Sampai berjumpa kembali, Anak baik."
Disaat rengkuhan keduanya terlepas, Fio menyalimi tangan Gerald dengan cepat. Kemudian berlari masuk ke dalam panti sembari terus tersenyum lebar. Mobil Gerald perlahan menjauh, keluar dari pekarangan Panti.
"Fio? Hei, kamu gak apa-apa, kan?" Alisa langsung menghampirinya, wanita itu nampak sangat lelah. Fio sontak mengangguk semangat. Ia usap perlahan tangan si ibu panti yang kini tengah memegangi bahunya.
"Pio enggak apa-apa, Bu." Alisa menatapnya lama. Tatapannya terlihat begitu dalam. Fio sampai heran.
"Ibu? Ibu kenapa?" Fio terlihat bingung. Alisa menggelengkan kepalanya cepat. Namun bibirnya nampak sedikit bergetar.
"Maaf, ya.." Alisa berujar pelan. Fio yang tidak mengerti semakin mengerutkan keningnya heran.
"Untuk apa, Ibu?"
Tubuhnya tanpa kata lagi segera Alisa dekap erat. Ia menyesal telah sempat tidak menyukai anak ini. Nyatanya, Fio lebih dari kata baik. Baru satu hari Alisa mengenalnya, tapi ia sudah tahu tentang segalanya.
Di telepon siang tadi, Isabelle menceritakan semua tentang masa lalu Fio di rumah lamanya. Alisa tertegun mendengar itu. Nasib Fio bahkan bisa dibilang lebih buruk daripada sebagian anak lain di sini. Mereka hanya tidak mempunyai orang tua, bukan mempunyai orang tua yang justru tidak bertanggung jawab seperti Fio.
"Ibu, jangan nangis. Pio minta maaf, Pio salah bicara, ya..?" Fio mengusapi punggung Alisa lembut. Yang justru semakin membuat tangisnya mengeras.
"Maafin Ibu.."
"Ibu kenapa minta maaf? Iya, Pio maafin. Sudah, ya, nangisnya. Ayo masuk. Sudah sore." Fio memilih untuk mengalah. Memperpanjang masalah hanya akan membuat semuanya semakin rumit. Meski otak bodohnya tidak bisa mencerna kenapa Alisa meminta maaf, Fio hanya berpikir tentang satu hal; bahwa memaafkan sudahlah menjadi kewajibannya.
"Fio udah baikan? Serius?" Alisa merenggangkan pelukan keduanya. Fio dengan senyuman lugu mengangguk antusias.
"Badan Pio sudah enggak panas! Tadi juga Ibu Isabelle dan Paman Gerald belikan Pio Obat!" Tangannya yang memegangi keresek putih berisi obat terangkat dengan bangga. Mengingat bahwa dulu perlakuan Raina dan Azka tentu berbeda. Lagi-lagi, Alisa merasa matanya memanas.
"Ayo masuk, Ibu mau masak untuk makan malam. Pio mau bantu? Ada Rafa juga di dalam. Kenalan, yuk."
Fio langsung murung. Ia tidak terlalu suka berkenalan dengan orang baru. Itu membuatnya takut. Namun Alisa yang kekeh tetap membawa Fio mendekat pada teman seumurannya itu. Bukan hanya satu, melainkan dua anak.
"Rafa, Kai, Ini Fio. Berteman, ya. Usia kalian hampir sama." Alisa tersenyum pada ketiganya. Rafa terlihat antusias ketika diperkenalkan dengan Fio, karena kemarin malam dirinya terlalu kelelahan akibat bekerja, Rafa jadi tidak terlalu fokus akan kehadiran si anak baru. Berbanding terbalik dengan Kai yang menatap Fio datar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pio ; The Unwanted Eldest
Teen FictionFio hanyalah Fio. Si anak polos yang tidak tahu bahwa sebenarnya, keberadaannya mereka anggap sebagai beban. Semua orang tidak menyukainya, Mommy dan Daddy juga membencinya. Tidak ada yang bisa Fio jadikan sebagai sandaran. Tangan mungil itu nyatany...