Seperti pagi hari sebelum-sebelumnya, Elias selalu terbangun karena batuknya. Padahal ia masih ingin menikmati tidur pagi sebelum masa liburannya habis. Namun tetap saja, paru-paru payahnya tak mau diajak kerja sama. Ia menyandarkan tubuhnya ke headboard setelah membenarkan posisi nasal kanul yang sempat lepas karena gerakannya saat tidur. Pantas saja tarikan napasnya sedikit sesak menjelang pagi tadi.
"Loh udah bangun, mas. Baru aja mau mbak bangunin buat uap pagi." Mata yang sempat tertutup pun kembali terbuka karena suara Nina.
"Udah, mbak. Nanti El siapin sendiri ngga papa kok."
"Mas El cuci muka aja. Saya bantu siapin biar cepet selesai terapi paginya."
Tak ada kata sanggahan lagi karena Elias rasa dadanya sudah begitu penuh. Langkahnya ia bawa memasuki kamar mandi. Beberapa kali usapan air membasahi wajah pucat Elias yang terlihat dari kaca di hadapannya. Ia tersenyum memandangi dirinya di sana.
"Gue ngga tau harus bangga apa kasian sama lo El," Ucapnya pada sosok Elias di kaca.
"Uhuk uhukk uhuk ..."
"Mas El buruan ayo itu udah batuk-batuk lagi." Seruan Mbak Nina kembali membuatnya tersenyum. Si mbak semakin protektif sejak ia pulang dari rumah sakit.
"Iya, mbak ..."
Elias biasa melakukan terapi paginya di dekat jendela kamar. Alat tempurnya terlihat sudah siap di samping sofa recliner yang biasa ia tempati.
"Makasih banyak, mbak."
"Sama-sama. Semangat, mas!" Elias tersenyum hingga menenggelamkan kedua bola matanya saat melihat gimik Nina memberinya semangat.
Ia rapatkan rompi pintarnya untuk kemudian mengaitkan tiap-tiap pengait. Ditekannya tombol untuk menyalakan getaran pada rompi. Elias biasa menyingkat waktu terapinya dengan melakukan nebulisasi dan konsumsi obat saat itu juga. Usai menelan obat yang harus ia konsumsi rutin, tangan Elias sibuk memasukkan obat yang harus ia hirup. Beberapa saat terapi untuk membersihkan saluran napas ia lakukan.
Di depan kaca kamarnya, Elias pakai lagi selang oksigen yang membantunya untuk tetap bernapas. Iya, berdamai dengan selang ini memang bukan hal mudah untuknya. Tapi apa boleh buat? Nyatanya ia tak bisa terpisah dengan selang itu. Dengan langkah berat ia geret tabung oksigen kecil ke dekat meja makan. Elias duduk di sana memperhatikan sang ibunda dan Mbak Nina yang sibuk memasak.
"Astaga, El. Udah di sini dari kapan?" Penampakan Elias yang masih dengan piyama tidurnya begitu mengejutkan Sania.
Elias terkekeh, "baru aja. Bunda masak apa?"
"Bikin Egg Muffins."
"El bantu apa?"
"Udah kamu duduk di situ aja. Bahaya kalo ikut-ikutan. Simpen energinya buat ke ulang tahun Jess nanti." Ucap Sania sembari mengusap pelan rambut Elias yang masih berantakan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pirau || Hwang Hyunjin ✔️
Fanfic[End, Belum direvisi] Blurb: Semua sudah abu-abu sedari awal. Harusnya ia tak pernah takut untuk memijaki kehidupan ini sendiri karena sejak dilahirkan pun ia sendiri. . . . Ide cerita murni dari pemikiran sendiri. Apabila ada kesamaan penokohan, al...