Katamu,
rembulan (itu) tengah tiadaIya, benar.
Kata takdir, memang sudah saatnya ia pergiKatamu,
tiada lagi guna menatap cakrawala sebab sinar purnamanya tak lagi kau jumpaIya, benar.
Kata takdir, memang sudah saatnya ia beranjak ke fase yang lainKatamu,
Bersama malam, kau belajar perihal perjuangan cinta yang tiada habisnya, bila memang rembulan (itu) mempersilakannyaIya, benar.
Namun kata takdir, memang sudah saatnya ia dijemput sang fana untuk menemui bayangannya di ujung dunia.Aku tau,
fase perubahan dan kepergian bulan,
tidak lantas pula membawa kelapanganTak apa; bagiku, (itu) wajar
Tak apa; kataku, silakan dinikmati
bersama seduhan kopi hangat yang kau sesap perlahan dengan hatiSekali lagi, tak apa.
Benar-benar tak apa.Namun, bila bulan tengah diujung tanduk, bukan kah artinya, hilal baru akan segera terbit ?
Pertanyaannya, tidak kah kau mau mempersilakan hilal baru (itu) untuk menampakkan dirinya ?
~Mei, 2024
KAMU SEDANG MEMBACA
Sekeping Hati
PoesíaBerisi gubahan sajak yang terus bergaung dalam telinga, bernaung dalam hati yang terjaga. Bersama sajakku, aku membicarakan matahari yang menjadikanku purnama.