Bab 1

134 24 57
                                    

Assalamu'alaikum semua, ini cerita kedua aku. Aku nyoba terjun ke genre romance non-religi, semoga kalian suka 🙌

*

*

*

*

Malam itu hujan deras mengguyur kota Jakarta. Jalanan yang biasanya padat kini terlihat lengang sehingga memudahkan Aruna mengendarai sepeda motornya dengan kecepatan tinggi.

Kejadian beberapa menit lalu masih berputar-putar di kepalanya. Antara emosi, malu, dan kecewa bercampur jadi satu.

Derasnya hujan membuat pandangan gadis itu mengabur, tetapi hal itu tidak mengubah niatnya untuk mengurangi kecepatan motornya. Seakan-akan Aruna tidak peduli jika harus mengalami kecelakaan atau malah hal itulah yang sangat ia inginkan.

Sepertinya apa yang diinginkan gadis itu terjadi juga. Ban motornya mengalami slip sehingga membuat motornya kehilangan kendali. Motor itu melaju dengan kecepatan yang sangat tinggi, tidak mungkin ia harus rem mendadak. Akhirnya motor yang ia beri nama Sooty itu membawanya meluncur di aspal yang basah.

Kepalanya yang masih memakai helm harus beradu dengan pinggiran trotoar. Celana kain yang ia pakai robek di bagian lutut, darah segar mengalir dari kulitnya yang menganga. Bahkan jaket kulit yang memeluk tubuhnya robek di bagian lengan bawah sebelah kiri.

Kondisi gadis itu benar-benar mengenaskan. Sekedar untuk bangkit duduk saja ia tidak mampu. Ia biarkan tetesan demi tetesan air hujan membasahi matanya. Kalau boleh jujur ia berharap Allah memanggilnya saat itu juga.

Entah dikabulkan atau tidak, tetapi kegelapan telah menjemputnya. Matanya tertutup sempurna.

****

Bau obat-obatan menusuk indra penciuman Aruna, matanya perlahan terbuka. Objek pertama yang ia lihat adalah lampu di langit-langit yang berwarna putih.

Perlahan ia mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Tanpa bertanya pun ia sudah tau di mana ia berada.

Rumah sakit. Tempat yang sangat ia benci.

Kenapa gue bisa ada di sini? Siapa yang bawa gue ke sini? Pertanyaan itulah yang bersarang di kepalanya.

"Ekhem."

Pandangan Aruna langsung otomatis tertuju ke arah asal suara deheman itu. Seorang cowok yang memiliki alis tebal, hidung mancung, bibir tipis, dan rahangnya tegas. Satu kata, tampan.

Siapa dia? batin Aruna.

Kaki jenjang milik cowok itu membawanya mendekat ke arah bangsal Aruna. Aruna terlihat waspada. Cowok ini walaupun tampan, tetapi auranya cukup menyeramkan.

"Siapa lo?" tanya Aruna.

"Penyelamat lo," jawabnya dengan ekspresi yang sangat-sangat tenang.

Alis Aruna bertemu, bukan jawaban itu yang ingin ia dengar. Ia ingin dengar nama dari 'penyelamat'nya ini.

Cowok itu lantas duduk di kursi dekat bangsal Aruna. Matanya masih betah memandang wajah Aruna, seolah sedang merekam wajah gadis cantik yang semalam ia tolong.

"Sagara, Sagara Biru Utara. Ingat nama itu, lo utang budi sama gue," ujarnya dengan nada sombong.

"Gue nggak minta lo tolongin gue. Harusnya lo biarin aja gue mati," balas Aruna kesal.

"Lo harusnya makasih, Aruna." Aruna semakin heran saat cowok itu tau namanya padahal ia belum menyebutkan namanya sama sekali.

"Lo ... tau nama gue?" Bukannya menjawab, cowok itu malah tersenyum yang sialnya membuat ia terlihat lebih tampan.

SAGARARUNATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang