bab 8

38 12 46
                                    

Setelah perdebatan yang agak panjang dengan tema pergi pakai motor Aruna atau mobil Sagara, akhirnya perdebatan itu dimenangkan oleh Sagara Biru Selatan.

"Pantai?"

"Hm, tempat yang bikin gue tenang."

Mereka berdua kini sudah menginjakkan kakinya di pasir pantai. Aruna tidak mengira bahwa tempat yang Saga maksud adalah pantai.

Sagara berjalan lebih dekat ke garis pantai diikuti Aruna. Rambut gelombang Aruna menari ditiup angin laut yang menyejukkan. Gadis itu menoleh ke arah Saga yang berdiri tepat di sebelahnya.

Mata laki-laki itu terpejam menikmati hembusan angin yang menerpanya.

"Coba tutup mata Lo, rasain angin laut yang nabrak muka Lo," ucap Saga yang sudah membuka matanya melihat tepat di manik mata Aruna.

Aruna tertawa kecil mendengar pemilihan kata Saga yang menurutnya sangat kasar. "Nabrak, mobil kali nabrak," cibirnya. Namun, gadis itu tetap mengikuti instruksi Sagara

Menutup matanya, menyambut angin laut yang menenangkan memeluknya.

"Dengerin deburan ombak yang berbunyi teratur, suara burung camar yang saling bersahutan." Suara Saga yang terdengar lembut bagai mampu mensugesti Aruna untuk tenang.

Perlahan gadis itu bisa sedikit melupakan kesedihannya atas kejadian pagi ini. Bibirnya mulai membentuk garis melengkung ke atas.

Namun, kalimat Saga berikutnya sontak membuat Aruna membuka matanya, "dan rasain kehadiran orang yang sayang sama Lo." Gadis itu menoleh kebelakang yang entah sejak kapan Sagara sudah berdiri di sana.

Senyuman yang entah kenapa membuat jantung Aruna berdetak lebih cepat. Atau mungkin karena jarak wajah mereka yang terbilang cukup dekat?

"Gue nggak tau apa yang terjadi sama Lo Na, tapi gue harap Lo nggak bakal nyerah." Jas yang laki-laki itu pakai ia buka dan ia pindahkan ke bahu Aruna.

****

"Kakak gue meninggal 10 tahun yang lalu dan gue ngerasa bersalah banget atas apa yang terjadi sama dia." Keduanya saat ini tengah duduk diatas pasir dengan es kelapa yang langsung dengan kelapanya di tangan masing-masing.

"Kenapa gitu?"

Pertanyaan Sagara membuat Aruna harus menarik napas dalam-dalam.

"Kakak gue meninggal karena gue Ga, gue yang salah," ujar gadis itu.

"Manusia bukan penyebab seseorang meninggal, seseorang meninggal karena takdirnya. Itu garisnya Na, Lo nggak bisa nyalahin diri Lo sendiri," hibur Saga.

Munafik banget gue. Nasihatin orang lain, sendirinya juga sibuk nyalahin diri sendiri, batin Saga menertawai dirinya sendiri. Miris.

"Btw kenapa Lo nyalahin diri Lo sendiri?" tanya Saga. "Eh eh, tapi kalo Lo nggak mau cerita it's okay. Gue nggak maksa juga." Cepat-cepat Saga memperbaiki pertanyaannya saat Aruna memandangnya dengan tatapan yang sulit dibaca.

Gadis yang saat ini mengenakan jas yang lebih besar dari tubuhnya itu terlihat menarik dan menghembuskan nafasnya perlahan.

10 tahun yang lalu

Malam itu seperti malam-malam biasanya, rumah keluarga Baswara diisi dengan celotehan Naya kecil yang sedang bermain dengan Tirta. Sedangkan Megumi sibuk berkutat di dapur bersama Bi Puput.

tidak hanya celotehan Naya saja, tapi juga ada suara dari televisi yang sudah dialihkan menjadi tayangan game bola. Itu Mangata yang sibuk sendiri dengan stick ps di tangannya.

SAGARARUNATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang