Bab 22

7 0 0
                                    

"Bener ini rumah sakitnya?" tanya Sagara.

Bangunan putih dengan tulisan Rumah Sakit Jiwa Kota Palembang menjulang kokoh di hadapan Sagara dan Karna. Bangunan yang menjadi saksi bagaimana orang-orang menyerah dengan mentalnya dan berakhir membiarkan alam bawah sadar yang mengambil alih penuh atas dirinya.

Tempat di mana mereka bisa tertawa dan menangis tanpa perlu peduli 'kan pendapat orang lain. Tempat yang tanpa sadar mereka jadikan sebagai bentuk protes pada semesta atas benang merah yang mereka miliki.

"Menurut info si Agha, iya."

Kaki mereka yang baru saja mendarat di Palembang sekitar 2 jam lalu melangkah menuju resepsionis. Baru saja memasuki kawasan rumah sakit, pemandangan memperihatinkan tertangkap indera penglihatan mereka.

Manusia-manusia yang seharusnya menjalani kehidupan yang nyata, malah terjebak di dunia imajinasinya. Namun, anehnya mereka terlihat sangat bahagia, lebih bebas.

Berada di sekitar orang-orang ini membuat Sagara dan Karna sadar bahwa masih ada orang lain yang beban kehidupannya jauh lebih berat dari mereka. Sagara tidak bisa membohongi dirinya sendiri bahwa hatinya agak tersentil saat melihat seorang perempuan yang sepertinya sedang berpura-pura berbincang dengan pacarnya.

Pikirannya lantas menyimpulkan bahwa perempuan itu pasti sangat mencintai sang kekasih. Bukan hanya sepenuh hati, tetapi juga sepenuh jiwa. Sehingga saat kehilangan, maka separuh jiwanya ikut menghilang.

"Permisi mbak," sapa Karna pada salah seorang resepsionis wanita.

"Ada yang bisa saya bantu, mas?"

"Kami ingin bertemu dengan pasien atas nama Raini Putri Kelana," jawab Karna.

Saat nama orang yang mereka cari disebutkan, kedua resepsionis itu saling pandang, seolah berbicara melalui telepati. Sagara dan Karna langsung paham bahwa menemui perempuan ini pasti tidak mudah.

"Mohon maaf mas, pasien tersebut berada di bawah pengawasan khusus seorang psikiater. Jadi ... tidak sembarang orang bisa menemuinya," jelas si resepsionis.

"Kami benar-benar butuh untuk bertemu Raini, mbak." Sagara berusaha membujuk resepsionis tersebut.

"Siapa psikiaternya?" tanya Karna.

"Saya." Baru saja mulut si resepsionis terbuka untuk memberitahu siapa psikiater yang dimaksud, tetapi orang itu sudah datang dengan sendirinya. Membuat mulut sang resepsionis yang sudah terbuka kembali tertutup.

****

"Ada perlu apa orang seperti kalian ingin bertemu pasien dengan gangguan mental?"

Ruangan berukuran sedang dengan lemari besar berisi puluhan arsip yang tersusun rapi. Tak lupa sebuah meja kebesaran dengan papan nama bertuliskan Varsha Amaya Dr.SpKJ.

"Kami benar-benar butuh ketemu sama Raini," ujar Sagara.

"Saya harus tahu dulu maksud kalian bertemu dengan Raini. Saya tidak bisa membiarkan sembarang orang bertemu dengan dia."

"Nggak usah mempersulit bisa? Ini penting!" Tekan Karna yang dari tadi hanya diam. Mata Varsha menatap tajam ke arah Karna.

"Sha, ayolah lo temen kita, kan? Bantu ngapa," bujuk Sagara dengan raut wajah dibuat sekasihan mungkin.

Varsha Amaya, gadis yang pernah punya cerita bersama Karna pada masa putih abu-abunya. Gadis yang sampai saat ini masih menjadi teman Cranios walaupun tidak pernah lagi terdengar kabarnya setelah hubungannya berakhir dengan Karna.

Varsha terlihat menarik napas sebelum berkata, "Masalahnya Raini tidak bisa ditemui oleh laki-laki kecuali kakaknya sendiri." Kedua laki-laki di depannya saling tatap. "Ada apa sebenarnya?"

"Kami curiga sama Rizky. Kasus-kasus yang terjadi pada saudara-saudaranya itu mencurigakan. Dengar, dengan nggak adanya Reihan dan Raini siapa yang paling diuntungkan? Dia bukan?" jelas Sagara dengan serius. Laki-laki itu menegakkan tubuhnya sebelum kembali melanjutkan, "Gue yakin dia dibalik kasus-kasus ini."

"Tunggu-tunggu, maksud lo Rizky yang udah bunuh Reihan dan bikin Raini kayak sekarang?" Tanpa ragu Sagara mengangguk. "Jangan ngaco lo, Rizky itu sayang banget sama Raini. Dia rajin jenguk Raini tiap bulan. Nggak mungkin Rizky pelakunya. Lagipun kalo emang Rizky pelakunya otomatis Raini nggak bakal mau ketemu dia."

Opini yang dijabarkan Varsha cukup masuk akal. Tidak mungkin korban mau ditemui pelaku.

"Maka dari itu kami harus ketemu Raini," ucap Karna.

"Kenapa kalian peduli?"

"Karena ini menyangkut Aruna, adik Mangata."

****

Tumpukan kertas di depan Aruna berhasil menahan gadis itu untuk pulang. Sebenarnya bisa saja ia selesaikan kertas-kertas itu di rumah, tetapi ia memang sengaja menunda kepulangannya.

Bahkan setelah dari sini ia akan ke markas Cranios dulu. Gadis itu akan pulang saat Bi Puput memberitahu bahwa Mamanya sudah tidur.

Ia selalu melakukannya beberapa hari ini. Pergi sebelum sang Mama bangun dan pulang setelah sang Mama tidur. Aruna memutuskan untuk tidak berpapasan dengan Mamanya.

Tok ... Tok ... Tok ...

Aruna mengangkat pandangannya ke arah pintu yang baru saja diketuk. Siapa yang datang? Kirana bahkan sudah pulang setengah jam yang lalu.

"Siapa?" tanya Aruna dari dalam bahkan tanpa angkat dari singgasananya.

Clek

Bukannya menjawab, orang itu malah langsung membuka pintu. Tentu saja membuat Aruna bersiaga.

"Belum pulang ternyata," ujar orang itu.

"Om Juli." Aruna menghela napas lega. Badannya yang semula menegang kini bisa ia lemaskan.

Julian Mahesa adalah pelaku yang mengetuk pintu ruangan Aruna. Laki-laki paruh baya itu lantas mendudukkan dirinya di sofa. Melihat meja Aruna yang penuh dengan tumpukan laporan, kemudian matanya menatap papan nama yang diukir dengan indah milik Aruna dengan pangkat di bagian bawahnya.

Aruna V Baswara S.A.B
President Director

"Kamu sibuk banget kayaknya," ucap Julian

"Iya." Aruna kemudian bergabung bersama Julian. "Om kenapa nggak bilang kalo mau ke sini?"

"Om tadi ke rumahmu, terus kata Bi Puput kamu belum pulang. Yaudah Om langsung ke sini," jelasnya. Julian mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan besar milik Aruna, kemudian berujar, "Perusahaan ini benar-benar kamu pegang dengan baik. Menjadi salah satu perusahaan maju yang dikenal. Tirta pasti bangga punya putri seperti kamu."

Mendapat pujian seperti itu Aruna tersenyum bangga. Tentu saja. Ia bekerja keras untuk ini, walau awal-awal kenaikan jabatannya ditentang keras oleh Megumi. Bahkan gadis ini pernah membujuk Melia untuk membatalkan kenaikan jabatannya, tetapi ditolak mentah-mentah oleh sang Nenek.

Karena bujukan dari Aca—Mama Kevin—akhirnya membuat Megumi menyetujui walaupun setengah hati. Jika mengingat masa-masa itu, Aruna lebih memilih mengikuti kemauan sang Mama. Memegang jabatan tinggi nyatanya membuat ia pusing. Waktunya untuk bersantai ria jadi tersita.

"Iya, semuanya terbayarkan," ucap Aruna.

"Ayo makan malam di rumah Om. Udah lama kamu nggak main ke rumah Om."

Semangat Aruna seperti kembali hidup. Memang benar sudah lama ia tidak berkunjung ke rumah Kevin, malah kakaknya itu yang rajin ke rumahnya. Kadang hanya numpang makan.

"Okay. Aruna selesaikan ini dengan cepat." Aruna yang sudah bangkit ingin menuju ke mejanya, mendadak berhenti lalu berbalik. "Atau selesaikan besok aja deh. Ayo Om." Gadis itu menyambar tasnya lantas menyeret Julian yang hanya tertawa kecil melihat tingkah keponakannya.

*

*

*

*

7-8-24

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 09 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

SAGARARUNATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang