eight

169 18 18
                                    

Ramaikan cerita ini, vote, komen, biar aku tambah mangatsss nulisnyaa😉💜

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ramaikan cerita ini, vote, komen, biar aku tambah mangatsss nulisnyaa😉💜

21++

•••

Kecupan terus berlanjut, hingga nafas hangat Jimin terdengar memburu di liang telinga Jina sampai-sampai membuat Jina hampir menggila.

Bahkan tangan kanan Jimin mulai menyingkap baju tidur yang Jina kenakan hingga perut mulus nan halus milik Jina terlihat.

Kesadaran yang mulai pupus Jina rasakan membuatnya kian tersiksa. Bibir tebal nan lembut pun lembab menyapu leher Jina sehingga tanpa sadar tangan kiri Jina meremat hebat punggung suaminya yang masih berbalut baju kaus santai.

Sama hal nya dengan sang istri, Jimin pun ikut terbuai semakin hanyut kedalam setiap inchi dan wangi istrinya. Mata Jimin memejam serta merta menikmati sapuan lembut bibirnya yang kini kian naik ke atas dagu.

Lenguhan Jina seolah menarik Jimin ingin terus melakukannya, tanpa henti, dan jeda barang sebentar saja. Gila. Apakah ini saatnya? Gelap malam ditemani derasnya hujan seakan menjadi pertanda, bahwa memang malam inilah waktu yang paling tepat.

Terlebih Jina tidak berontak, atau pun menahan Jimin untuk melakukan apa yang sebenarnya Jimin inginkan.

Menggelap kedua mata masing-masing saat bertatapan. Jimin tersenyum begitupun Jina yang tampak malu-malu.

“Bolehkah?”

Suara lembut nan sedikit agak serak mencoba menggelitik perasaan Jina yang sedari tadi terus merasa tidak karu-karuan.

Dan seperti biasa, Jina akan menggigit bibirnya jika dalam suasana bingung, malu, seperti saat ini.

“Lakukan saja dengan pelan,” sahut Jina malu. Tanpa melihat bahkan melirik suaminya yang kini sedang tersenyum ke arahnya.

Kalau perlu, Jina ingin sekali masuk ke dalam selimut, menggulung tubuhnya yang kata Jimin amat sangat pas di dalam dekapan hangatnya.

“I lov—”

Sialan! Bibir Jimin yang tadinya hendak mendarat di bibir Jina kembali tercekat, di saat ponsel Jina berdering nyaring. Bahkan sialnya lagi Jimin belum sempat mengatakan sesuatu yang sedari semalam ingin ia ungkapkan.

“Jungkook,” kata Jina sambil menatap wajah suaminya yang kentara menyimpan rasa kesal terhadap adik iparnya.

“Mau apa dia menelpon selarut ini?” Jelas terdengar suara jengkel Jimin sekarang.

Married to a DoctorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang