RUMAH itu sepi. Anak pemiliknya baru saja selesai membersihkan diri dari kamar mandi, keluar dengan rambut basah yang diusap-usap handuk dengan memakai pakaian santai. Rambut gondrongnya yang basah menambah kesan ganteng.
Rumahnya tidak sebersih keliatannya. Bahkan dari halaman depan saja banyak berserakan daun berguguran dari pohonnya. Lama tidak ada yang membersihkan. Asisten rumahnya sudah resign tiga hari lalu, dan Papa belum menemukan pengganti.
Baru saja dia berpikir demikian, suara dari luar menarik perhatiannya di ruang makan.
"Kamu masih kuliah, ya?"
"Iya, Pak, nggak apa-apa, kan, saya kerja waktu cuti kelas?"
"Boleh-boleh aja. Hebat kamu, masih kecil berani merantau dan ambil resiko bekerja. Kalo boleh tahu kamu kuliah di mana?"
"Hehe, ITB."
"Wahhh, kebetulan banget anak saya juga di situ. Kamu kenal Aksara? Aksara Valentino?"
Yang disebut-sebut namanya menajamkan pendengaran. Suara perempuan kedengaran familiar.
"Aksara...? Kenal, Pak. Dia... senior saya..." Nada perempuan itu waktu menjawab terdengar ragu-ragu.
Di detik berikutnya, Aksara berdiri dari kursi dan beranjak menuju ruang tamu karena asal dialog tadi berasal dari sana. Penasaran. Waktu sampai, Papa dan perempuan tadi mengalihkan atensi kepadanya karena jalan Aksara yang pincang didominasikan suara sandalnya. Di detik itu juga tatapannya bertemu dengan si perempuan. Vanila.
"Ini dia anak saya." Pria paruh baya berkacamata mendekati Aksara, merangkul bahunya akrab.
Vanila mau tak mau melempar senyum canggung, sementara Aksara memasang wajah datar sebelum bertanya kepada Papa, "Kenapa dia di sini, Pa?"
"Vanila adalah asisten baru rumah ini."
Jawaban Papa membuat Aksara spontan menoleh. "Apa?"
•••
Dalam hati Vanila dibuat kagum dengan semua ruangan dalam rumah majikan barunya. Jauh sekali dengan rumahnya di Jogja. Benar-benar perbedaan seperti langit dan bumi. Sayangnya, anak majikannya membuatnya tidak nyaman berada di sini. Hatinya tidak tenang.
Tapi mau bagaimana lagi?
Gajinya tidak main-main, sih. Vanila mana mungkin menolak kesempatan emas itu untuk mencukupi kehidupan sehari-harinya termasuk biaya kuliah. Bukannya keluarganya tidak ada yang mau menanggung, Vanila sendiri yang tidak mau nantinya mama angkatnya mengungkit-ungkit kebaikan yang sudah dikasih. Vanila muak harus berdebat terus dengan orang itu.
Kalau diberi pertanyaan dia sayang dengan mama angkatnya atau tidak, jawabannya iya. Tapi kalau wanita itu kumat lagi mengomelinya habis-habisan Vanila tidak bisa tidak membencinya. Oke, dia harus hidup mandiri mulai dari sekarang. Cari uang sendiri lebih baik, kan?
Sedari tadi perhatian Aksara tak luput dari gerak-gerik Vanila yang membersihkan sudut-sudut ruangan dengan telaten dan cekatan seolah sudah terbiasa.
Walaupun Vanila tidak menatapnya, dia tahu lewat ekor matanya, Aksara memperhatikan. Mendadak kata-kata jahatnya kemarin lusa terngiang-ngiang di telinga.
Cowok tercinta lo itu yang bikin adiknya sendiri mati.
Lemparan kemasan bekas snack membuyarkan lamunannya. Gadis itu menoleh ke arah pelakunya.
"Masih kotor tuh."
Vanila menggeram dalam hati. Iyalah kotor, isinya masih ada aja dilempar, sialan. Kalau disuarakan isi hatinya, Vanila masih harus jaga sikap karena di sini notabenenya adalah asisten. Berbuat salah sedikit saja bisa-bisa anak majikannya ini melapor, dan gajinya dipotong, mampus.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hi, I Have On Crush You
Novela Juvenil"Lo pikir dengan cara lo jadi penguntit gini orang bakal seneng? Mau lo apa?" "Jadi selama ini kita nggak kebetulan, tapi lo yang suka ngurusin kehidupan orang? Mau lo apa, gue tanya?" "Kalo lo nggak bisa jawab, gue peringatin sama lo. Jangan suka i...