Sudah tiga hari berlalu semenjak first kiss Sea direnggut Sukiman aka Langit. Beberapa jam setelah kejadian, Sea termangu memikirkan bagaimana cara ia menghindari Langit. Kilas balik kejadian yang berputar di memorinya membuatnya jengah. Ketakutannya pupus di hari ketiga. Makin lama Langit semakin semena-mena. Langit terlihat biasa saja, seolah tak terjadi apa-apa.
"Ini salah, Sea! Revisi dalam dua menit!"
Sea menatap datar laki-laki yang duduk tenang di kursi kerjanya, menggunakan setelan jas warna navy yang kontras dengan warna kulitnya, ditambah tatanan rambut yang begitu rapi.
"Ini yang kelima kalinya saya revisi, Dok. Kali ini salahnya yang mana?" tanya Sea yang mulai lelah.
"Sea, ini!"
"Sea, revisi!"
"Sea, atur ulang!"
"Ini salah, Sea!"
"Matamu minus, ya?"
"Ngerti bahasa manusia, 'kan?"
Satu jam lebih mendengar cacian Langit membuat telinga Sea gatal. Aroma disinfektan masih tercium di bajunya. Pagi tadi ia melakukan praktikum bersama temannya yang lain di laboratorium. Sea yang berniat langsung mengerjakan laporan praktikum terpaksa harus menunda karena perintah Langit yang tak bisa ditolak.
Gara-gara pengunduran diri kemarin, Sea sampai dipanggil Dokter Arif, selaku Dekan Fakultas Kedokteran. Gosip di kampus bukannya redah, justru kian menjadi-jadi. Sea hanya bisa pasrah sembari mengirimkan doa supaya Langit cepat tobat.
"Matamu buta? Ini typo, penulisannya dipisah. Gimana, sih? Nilai bahasa kamu dulu berapa?" komentar Langit kejam untuk kesekian kalinya.
"Dok, kalau saya revisi terus-terusan, kertasnya bisa habis. Mubazir, dong." Ingin rasanya Sea mengirim Langit ke dunia lain. Masalah pembagian kelompok belum selesai dari tadi. Ada saja kesalahan yang Langit koreksi. Mulai dari ukuran font, rata kiri, atas, bawah, kanan, hingga tanda baca titik dan koma. Sea rasanya ingin menangis sekarang. Lelah, lapar, ditambah omelan Langit, membuatnya semakin lemas.
"Duduk dulu!"
Sea mengangguk patuh. Dengan penasaran, ia mengamati kegiatan Langit. Laki-laki itu berjalan ke arahnya, menyodorkan sebuah box yang lumayan besar.
"Saya salah beli ukuran, anggap saja sedekah."
Sea berdecak sembari tetap menerima box tersebut. "Boleh saya buka, Dok?"
Karena mendapat anggukan setuju, Sea pun mulai membukanya. "Wah!" Sea berdecak kagum. Isinya sebuah gaun panjang dengan lengan model balon, didominasi warna hitam dengan motif bunga kecil yang warna putih. Ada belt sebagai pelengkap. Tak sampai situ, brand kelas atas ini.
"Ini ori, Dok?" tanya Sea tak percaya.
"Jelas ori, dong. Ngapain saya beli barang tiruan? Bukan saya banget. Kamu mau model lain?"
Sea menggeleng cepat. "Duh, jiwa miskin saya meronta-ronta, tapi kayaknya saya enggak bisa terima, terlalu mahal ini, Dok," tolak Sea halus. Harga satu baju ini bisa untuk bayar uang kuliahnya tiga semester.
"Kan, sudah saya bilang, anggap saja sedekah."
Sea melongo. Ini Langit benar-benar mau beribadah atau sekadar pamer saja? "Nggak sekalian sama heels-nya, Dok?" tanyanya tanpa malu.
"Mau? Saya, sih, ayo aja. Seberapa pun yang kamu mau, asal langsung lamaran," jawab Langit serius, tetapi sangka Sea itu hanya lelucon.
"Lucu banget candaannya. Serius, Dok, masa PJMK enggak bisa diganti, sih?" Sea mulai mengalihkan topik pembicaraan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hallo Effect
Fiksi RemajaSea mengangguk patuh. Dengan penasaran, ia mengamati kegiatan Langit. Laki-laki itu berjalan ke arahnya, menyodorkan sebuah box yang lumayan besar. "Saya salah beli ukuran, anggap saja sedekah." Sea berdecak sembari tetap menerima box tersebut. "B...